Lima Menit Untuk Raina
Sedikit bingung
berdiri diantara ratusan anak berjas hijau toska, termasuk aku. Kuarahkan
pandangan ke segala penjuru. Mencari sahabatku, Raina.
Ahaaa! itu Raina. Dia celingukan, sepertinya
sedang mencariku. Aku sedikit berlari menghampirinya. Hampir dekat. Raina
menengok kebelakang. Dia tahu aku sudah ada dibelakangnya.
"Ayo Praas!" Serunya padaku. Dia berlari cukup cepat. Dengan cekatan aku mengikuti langkahnya dari belakang.
"Ayo Praas!" Serunya padaku. Dia berlari cukup cepat. Dengan cekatan aku mengikuti langkahnya dari belakang.
'Tenang Raina,
sebentar lagi kau akan bertemu dengan seseorang, yang kau anggap Bidadari dalam
hidupmu'
pekikku dalam hati.
Aku sendiri juga tak
sabar ingin bertemu mbak Asma. Wanita sholihah yang begitu respect terhadap
semua orang, termasuk kepadaku. Kata-katanya seperti tetesan embun di pagi
hari. Memberi motivasi tersendiri untukku. Motivasi ini sangat kubutuhkan,
mengingat diriku yang sedang berjuang membuat perubahan untuk keluargaku.
Berawal dari
perkenalan kami bertiga di dunia maya alias facebook. Raina lebih dulu kenal
mbak Asma. Mereka sangat akrab, yang kutahu bahkan seperti saudara kandung.
Hingga akhirnya sekitar Juni tahun lalu, Raina memperkenalkanku pada mbak Asma.
Jujur, sampai sekarang aku tak mengerti jelasnya, sebab Raina mengenalkanku
pada mbak Asma. Entahlah, aku tak terlalu memikirkannya. Kurasakan perteman ini
mampu memberiku semangat, bukan untukku saja, pastinya Raina juga. Meskipun
jiwanya tak bisa kutemui dengan mudah. Apapun itu aku ingin mengatakan ini pada
mbak Asma 'Mbak, terimakasih untuk selama
ini, We love you'
Terlalu lama
membayangkan sosok mbak Asma, aku tak menyadari Raina sudah sampai di lapangan
masjid. Sedangkan aku masih berada di kerumunan teman-temanku. Aku mempercepat
langkahku. Sedikit berlari, ayo Pras sedikit lagi!
"Embaaakkk"
Raina berteriak. Jiwanya terhempas pada pelukan mbak Asma.
Pelukan yang amat erat. Aku yang berdiri agak jauh dari mereka, menatapnya lekat tanpa bisa berbuat apa-apa. Mengharukan, ah mbk Asma, Raina. Raina menangis tersedu-sedu. Mungkin ini adalah salah satu moment terindah dalam hidupnya. Kulihat mbak Asma membelai pundak Raina. Matanya, aku tahu mbak Asma sedang berusaha sekuat tenaga agar pertahanannya tidak jebol di depanku dan Raina. Tangannya dengan lembut mengangkat wajah Raina. Lantas mengusap air matanya
Pelukan yang amat erat. Aku yang berdiri agak jauh dari mereka, menatapnya lekat tanpa bisa berbuat apa-apa. Mengharukan, ah mbk Asma, Raina. Raina menangis tersedu-sedu. Mungkin ini adalah salah satu moment terindah dalam hidupnya. Kulihat mbak Asma membelai pundak Raina. Matanya, aku tahu mbak Asma sedang berusaha sekuat tenaga agar pertahanannya tidak jebol di depanku dan Raina. Tangannya dengan lembut mengangkat wajah Raina. Lantas mengusap air matanya
"Sudah Nduk, cup cup cup, udah gede kok
mewekan ki piye tho?" Hiburnya pada Raina. Aku tersenyum. Jujur aku
bingung apa yang harus kulakukan. Sedari tadi hanya berdiri seperti patung, menyaksikan
pertemuan ini.
'Raina jangan
menangis, gak malu apa dilihat orang banyak' gerutuku dalam hati.
"Ehem," aku
berdehem. Hehe biar dianggap sedikit gitu. Dari tadi didiemin sendiri. Mbak
Asma menatapku. Tersenyum.
"Oh ini Pras ya? Tinggi banget dek?"
Lantas mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Aku menyambut salamnya. Hanya diam sambil tersenyum.
Aku menyambut salamnya. Hanya diam sambil tersenyum.
"Ayo sini duduk," tambah mbak Asma,
sambil menuntun Raina duduk.
Kamipun duduk di
emperan masjid. Hening untuk beberapa saat. Tak tau harus berkata apa.
Sebenarnya aku bukan tokoh penting dalam pertemuan ini. Hanya sekedar menemani
Raina. Diam mungkin baik. Memberi celah mereka berdua untuk 'temu kangen' hehe.
Aku memperhatikan mereka yang sedang mengobrol, tetapi tak ikut bicara. Melihat
Raina tersenyum membuat hatiku lega. Tangisnya sudah reda, hanya sedikit
terlihat merah di matanya.
"Kok diem aja sih profesornya?" Mbak
Asma mengajakku bicara.
"Hehe, bingung mbak mau ngomong apa. Ah
jangan panggil gitu. Doain aja ya. Oya mbak, pangling lihat sampean. Sedikit
berbeda dengan yang di foto" jawabku sekenanya.
"Loh masa iya? Awet mudakan? Hehe Kira-kira nanti mau kuliah disini gak Pras?" tanyanya padaku.
"Loh masa iya? Awet mudakan? Hehe Kira-kira nanti mau kuliah disini gak Pras?" tanyanya padaku.
"Hehe, pengennya sih di Surabaya, tapi bukan
di sini. Mungkin di UNESA Mbak"
Kulihat jam ditangan
kiriku. Lima menit berlalu. Dengan sangat berat
hati harus kusudahi pertemuan ini. Rombongan kami (Aku dan Raina) akan
lanjut perjalanan menuju Pelabuhan Ketapang. Tak lupa, aku meminta foto
bertiga. Ini akan menjadi kenangan untuk kita, terutama Raina. Dua kali klik berhasil mengambil gambar kami. Mbak Asma duduk di tengah.
hati harus kusudahi pertemuan ini. Rombongan kami (Aku dan Raina) akan
lanjut perjalanan menuju Pelabuhan Ketapang. Tak lupa, aku meminta foto
bertiga. Ini akan menjadi kenangan untuk kita, terutama Raina. Dua kali klik berhasil mengambil gambar kami. Mbak Asma duduk di tengah.
Bagaimanapun akhirnya, aku harus mensyukuri
kesempatan ini. Ya, walau
hanya lima menit. Lima menit untuk Raina. 'Aku tahu Na, ini kurang bagimu, tapi bagaimana lagi? Kita harus segera balik ke bus. Semoga Allah memberikan kesempatan yang lebih lama lagi untukmu' Bisikku dalam hati.
hanya lima menit. Lima menit untuk Raina. 'Aku tahu Na, ini kurang bagimu, tapi bagaimana lagi? Kita harus segera balik ke bus. Semoga Allah memberikan kesempatan yang lebih lama lagi untukmu' Bisikku dalam hati.
"Mbak
kita balik dulu ya?" ucapku sebagai tanda perpisahan.
"Sebentar lagilah Pras? Itu masih ada anak
yang belum masuk bus" Raina merengek padaku. Tapi aku bisa apa. Raina
ayolah, sudah mulai sepi nih! "Kamu mau tak ditinggal disini?"
tanyaku padanya.
'Maaf Na, aku tahu kau
tak ingin menyudahi pertemuanmu secepat ini. Tapi...'
Raina diam. Pandangannya tertuju ke depan. Sedih.
Raina diam. Pandangannya tertuju ke depan. Sedih.
"Yowis, ayo" katanya, menyetujui
perpisahan ini. Sekali lagi Raina memeluk mbak Asma. Rasanya tak ingin Raina
melepaskannya.
'Jangan menangis lagi
ya Na, aku yakin Allah akan memberi kesempatan lagi untukmu' Doaku dalam hati. "Assalamualaikum"
ucapku dan Raina hampir bersamaan. Kami tersenyum.
Senyuman yang terakhir untuk mbak Asma.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati dijalan ya
dek Pras, dek Na. Have fun ya di Bali" Kujabat tangan mbak Asma,
bergantian dengan Raina.
Aku berjalan lebih
dulu, sedangkan Raina masih memasukkan sepatu ke kakinya.
"Prasss, tungguin Tuan Putrinya dong. Hehehe" Aku menengok ke belakang, ah mbak Asma becanda mulu. Kutanggapi dengan senyuman saja. Hihi Aku berjalan di depan Raina. Raina lebih banyak diam dan menunduk.
"Prasss, tungguin Tuan Putrinya dong. Hehehe" Aku menengok ke belakang, ah mbak Asma becanda mulu. Kutanggapi dengan senyuman saja. Hihi Aku berjalan di depan Raina. Raina lebih banyak diam dan menunduk.
"Na, aku pengen kasih kado buat mbak
Asma. Kira-kira yang cocok buat dia apa ya?" Kupecahkan keheningan ini
agar suasana tidak tegang.
"Buku aja Pras" jawabnya sambil
mendongakan sedikit kepalanya menghadapku. Maklum, tinggi kami terpaut cukup
jauh.
"Buku? Bukunya siapa? Aku gak tau mbak
Asma suka buku yang bagaimana" Alisku menyeringai, mengundang tanda tanya.
Raina berjalan menjajariku dan berkata,
"Gampanglah, aku tahu. Besok-besok aku
cari info yang lebih lengkap lagi Pras"
"Oke siiip, Terimakasih ya" jawabku singkat. Raina hanya tersenyum.
"Oke siiip, Terimakasih ya" jawabku singkat. Raina hanya tersenyum.
"Gimana? Udah puas belum ketemu mbak
Asma?" tanyaku. Aku tahu jawabannya pasti belum.
"Belum Pras, ayo balik lagi?" Raina menjawab pertanyaanku sambil melihat ke arah mbak Asma. Aku mengikutinya. Kulihat mbak Asma masih duduk disana. Seperti sedang melihat kami juga.
"Belum Pras, ayo balik lagi?" Raina menjawab pertanyaanku sambil melihat ke arah mbak Asma. Aku mengikutinya. Kulihat mbak Asma masih duduk disana. Seperti sedang melihat kami juga.
"Monggo kalau mau kesana lagi, tapi aku
tetep ke bus. Hehe. Sudahlah Na, syukuri pertemuan ini walau hanya lima menit.
Aku yakin Allah akan memberi waktu yang lebih lama lagi suatu saat nanti"
Aku berusaha menghiburnya.
"Ya Pras, aku akan selalu berdoa untuk
itu" Aku mengangguk, sebagai tanda mengakhiri percakapan kami. Lantas
melanjutkan perjalanan kita menuju bus.
Alhamdulillah, percakapan kami berakhir tanpa sia-sia.
Alhamdulillah, percakapan kami berakhir tanpa sia-sia.
0 komentar:
Posting Komentar