Enter Header Image Headline Here

Selasa, 14 Juli 2015

Kabut di Pagi Hari

Pagi bagiku selalu menyuguhkan pesona yang indah. Embun baru saja meretas dari pucuk daun, dengan senang hati berganti posisi dengan matahari, lalu jatuh mencium tanah. Saat burung terbang dan berkicau, mencari secuil makan untuk anak-anaknya. Saat ayam-ayam menceker tanah basah, mencari makan untuk mengisi perut. Saat matahari kembali bertugas, menyinari alam semesta. Tanpa kenal lelah, tunduk mengikuti titah-Nya. Dan saat aku harus menjalani aktivitasku sebagai mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di kampus tercinta, Universitas Negeri Malang. Semua terasa indah karena aku selalu memanjatkan syukur atas nikmat-Nya. Hidup berjauhan dengan orang tua itu tak mudah. Aku harus mandiri, namun kutemukan keluarga kedua di sini. Di pondok pesantren Sabilur Rosyad.


Pagi-pagi aku sudah siap berangkat ke kampus bersama si Biru, sepeda sekaligus sahabat yang menemaniku berkeliling kota Malang. Masih terlalu pagi memang, tapi justru aku suka itu. Setiap hari aku berangkat pukul 7, masih terlalu pagi bukan? Ya, tapi ini kesukaanku. Menjelajahi setiap sudut jalan saat udara masih segar, ditemani embun pagi yang belum enggan pergi. Pukul 7 suasana jalan cukup sepi, karena anak-anak sekolah memadati jalan sekitar pukul setengah 7 sampai jam 7 kurang sedikit. Ya meskipun kadang masih kutemui satu dua pelajar yang menyusuri jalan dengan motornya.

Sepuluh menit perjalanan menuju kampus. Setiba di kampus, kuparkir si Biru di depan Fakultas Bahasa. Kampus nampak sepi, jalan-jalan mengelilingi kompleks kampus itu jadi pilihanku. Tujuanku adalah ke taman kecil dekat tempat parkir motor. Aku ingin menunggu teman-teman di sana, sembari menyelesaikan tugas dari dosen yang belum selesai.
Taman kecil di kampusku cukup indah, banyak bunga-bunga di sana. Rumput-rumputnya rapi, sepertinya baru saja dipangkas oleh petugas kebun. Suasananya asri, pohon-pohon menjuntai tinggi ke langit. Rindang. Daun-daun bergoyang ria tertiup angin pagi. Ada beberapa kursi di sana, aku memilih duduk di kursi bagian pinggir. Selain teduh, tempatnya juga cukup terang, tidak tertutup pohon. Nah, siap berduaan dengan tugas.


Beberapa menit kemudian, mahasiswa mulai berdatangan. Kulirik jam yang melingkar di tangan kiriku, jam menunjukkan pukul 8 kurang. Hmm, pantas saja. Ada juga yang duduk mengisi kekosongan kursi taman. Ada yang sendiri, ada juga yang bersama temannya. Masih fokus pada tugas, sejenak kulayangkan pandangan pada mereka yang duduk di kursi taman, aku menangkap dua orang, sepertinya aku tidak asing dengan postur tubuhnya. Seorang lelaki dan seorang lagi perempuan.
Lelaki itu tinggi tegap, potongan rambutnya aku juga kenal. Hey, dia pakai kaca mata, mungkinkah dia? Dan satunya lagi, perempuan yang samar. Postur tubuhnya tidak berbeda jauh denganku, kecil. Semoga tebakanku tidak salah.
Kuamati gerak-gerik mereka, melihat pemandangan itu konsentrasiku buyar. Jelas ini lebih menarik perhatianku.

Ray, itu kah kau? Sedang ngapain jam segini berduaan dengan Tata? Kalian kan beda jurusan. Wajar jika satu jurusan, mungkin sedang mendiskusikan tugas. La ini? Ooh Shazia, tenangkan dirimu. Tenang!

Mataku tak mau berkedip mengamati mereka. Angin yang berhembus di pagi hari membuat mataku perih. Bukan karena debu masuk kedalamnya, tapi ... Ah entahlah. Pemandangan ini sungguh tak mengenakkan hati. Sebelumnya aku sudah terbiasa melihat Ray jalan berdua dengan teman wanitanya. Entah itu spesial untuk Ray atau hanya teman biasa, aku tak tahu.

Aku masih diam terpaku melihat mereka. Asyik sekali sepertinya, Tata yang terlihat sumringah menjelaskan sesuatu pada Ray. Lama mulutnya berkomat-kamit mengucapkan sesuatu. Ray hanya mengangguk paham, sesekali tersenyum. Aku bisa melihatnya dari sisi kanan di belakang mereka.
Hey jemari Tata itu kenapa? Merapikan rambut Ray? Atau merusaknya? Bukan, itu seakan menyisir dengan jemari untuk merapikan rambutnya Ray yang tertiup angin. Bagian poninya juga di rapikan ke pinggir dengan telunjuk Tata. Tata itu siapanya Ray sih? Mentang-mentang anak dosen, hah seenaknya aja. Jujur aku cemburu. Cemburu karena cinta dalam diam, salahkah?


Allah... Sesak sekali melihatnya. Pandangan mataku kabur karena bendungan bening di sana. Duh, aku menangis? Jangan Shazia, jangan!
Mencoba beberapa kali menarik nafas agar detak jantungku normal, agar hatiku tidak memanas. Tapi percuma, jatuh juga akhirnya. Ini menyakitkan, perih sekali ya Allah. Melihat langsung dengan kepala mataku sendiri. Dan untuk pertama kali aku menangis karena... Karena cinta kepada seseorang. Aah parah Shazia!
Kekaguman yang kupendam selama ini, kini kutemukan duri itu. Duri yang mampu membuat air mataku jatuh.
Aku tidak tahan melihat mereka seperti itu. Kuputuskan untuk pergi, melewati kursinya dengan menunduk tanpa menyapa.
Duh, kabut pagi ini telah sempurna menjelma embun di pelataran pipiku.

Ray, salahkan kekaguman mendalamku ini untukmu? Aku akan menyimpan rapat-rapat, entah sampai kapan. Aku akan menjaga cinta yang bersemayam dalam hati.


*Ponorogo, 30 Mei 2015
Terinspirasi dari kisah nyata

0 komentar:

Posting Komentar

Ia menjauh dari rindu yang tak pernah pulang. Pergi, melepaskan

Popular Posts