“Kau sekarang tambah pendiam saja, Dam? Kenapa?” Celetuk Rudi tiba-tiba
saat makan siang di kantin kantor, sedang jam istirahat. Aku menatapnya bingung.
“Eh?”apanya yang pendiam, itu maksud tatapanku.
“Jadi pendiam di dunia maya, tapi tambah rese di dunia nyata. Hahaha.” Rudi
menyeringai, mood jahilnya sedang on. Aku malas menanggapi, mengangkat bahu.
Itu jelas-jelas karangan Rudi saja.
“Kenapa?” Rudi mengulangi pertanyaannya.
“Kenapa apanya?” Pura-pura belum paham.
“Kenapa kau jadi pendiam di dunia maya, tutup akun segala lagi?” Rudi
mencomot tempe yang ada di piring, tambah satu lagi. Nasi pecel di piringnya
hampir tandas. Aku menyeruput teh pesananku, nasi pecel di piring sudah bersih
sejak dua menit yang lalu. Rudi lebih banyak ngomong saat makan, cerita tentang
pertandingan bola tadi malam ditambah pertanyaan aneh barusan, membuatnya
sedikit memperlambat makan.
“Kenapa? Kau rindu dengan puisi-puisiku yang menggambarkan bujang lapuk
sepertimu? Haha.” 1-1, aku membalas kejahilannya. Wajahnya berubah kusut, macam
kertas bekas coretanku yang gagal dan akhirnya kuremas membentuk bulat, lalu
kubuang di tempat sampah.
“Yee, siapa juga yang kangen, gak lah. Kau itu ditanya malah balik tanya.
Kebiasaan buruk, mengalihkan pembicaraan saja.” Jawab Rudi ketus. Nasi pecelnya
sudah habis, tinggal suapan terakhir setelah menjawabku barusan.
“Tak ada apa-apa, hanya ingin menepi dari dunia yang terkadang penuh dusta
itu.” Aku menjawab ‘sok-serius’. Teh hangat di depanku tinggal separuh, menyeruputnya lagi.
“Penuh dusta? Kau tak sedang ada masalah dengan gadis kau si manis jelita
itu, kan?” Rudi menyelidik, tatapannya fokus menatap mataku. Risih aku ditatap
seperti itu, macam adegan-adegan film yang suka ditonton Rudi saja. Kutimpuk
pipinya dengan koran di meja, dia mengaduh. Suruh siapa melototiku seperti itu.
Haha.
“Tak usah seperti itu pandanganmu, malulah dilihat orang lain.”
“Eh maaf,” Rudi nyengir kuda. Lantas menyeruput es teh di depannya sekali
teguk sampai hampir habis. Ini orang
haus apa rakus? Aku membatin, geleng-geleng kepala.
“Tak ada hubungannya dengan Rinai.” Aku menjawab ‘sok-serius’ lagi dan
senormal mungkin.
Bahkan Rudi ingat si manis jelita, Rinai. Seminggu lebih aku sengaja
menutup komunikasi dengannya. Rin, kau sedang apa di sana? Aku sedang menatap
piring yang hanya tinggal beberapa nasi saja, tak lebih dari lima butir nasi
yang tersisa. Ditemani dengan Rudi, teman yang suka menjahiliku, teman terbaik
sepanjang masa sejak kami masih merah berlumur darah. Sejatinya aku menutup
akun dan menjauh dari dunia maya, sedikit banyak memang karena kau, Rinai.
***
‘Sudah seminggu lebih Bang Damai menutup akunnya, ada apa? Apa Rin punya
salah pada Abang? Kenapa Bang Damai tiba-tiba pergi begitu saja, tanpa memberi
kabar?’
Gadis yang disebut Damai dan Rudi si manis jelita itu berdiri di bibir
jendela, menatap keluar. Hujan semakin deras, sama halnya dengan gelisah yang
semakin menebal melingkupi hati Rin. Sebuah pesan di ponselnya sudah diketik,
tinggal klik ‘send’ tapi urung dilakukannya. Rin ragu, pikiran negatifnya
bercampur aduk dengan rasa gelisah.
‘Jangan-jangan Bang Damai marah, karena akhir-akhir ini Rin terlalu dekat
dengan teman baru di dunia maya, sering komen-komenan. Tapi itu kan hanya
teman, secemburu itukah Bang Damai? Ah, Bang Damai bukan orang seperti itu.’
Setengah hatinya membela, berfikir dengan baik.
‘Atau mungkin Bang Damai sibuk dengan pekerjaan di kantor, daripada fb
mengganggu lebih baik ditutup saja akunnya.’
Perang hati Rin tak henti-henti membingungkannya, membuat pesan yang telah
ia ketik terabaikan begitu saja. Lima menit berlalu, lima menit itu pula
membuat Rin berfikir jernih, tak ada salahnya mengirim pesan, mencoba
menanyakan kabar Bang Damai.
‘Abang apa kabar? Kenapa seminggu lebih tutup akun?
Marahkah dengan Rin?’
Pesan terkirim dan dering ponsel si penerima yang hanya berjarak lima kilo
meter dari si pengirim pesan berbunyi. Suaranya dikalahkan dengan gemuruh air
hujan yang turun semakin menderas. Damai
tak mendengar bunyi pesan masuk di ponselnya, sedang fokus dengan tugas kantor,
malam ini ada jadwal lembur untuknya yang boleh dikerjakan di rumah.
Hampir pukul 12 Damai baru saja membaca pesan si manis jelita.
Mengabaikannya, hanya dibaca dan kemudian meletakkan ponsel di atas meja.
Tubuhnya lelah, segera butuh istirahat. Menarik selimut dan akhirnya terbang di
dunia kapuk.
***
Aku memang sengaja menjauh dari Rinai, alasannya? Sungguh aku tak tahu
pasti. Semua ini butuh waktu untuk memperjelas. Rin mungkin bingung saat berpapasan
di lampu merah, dia berseru-seru memanggilku, aku pura-pura tak mendengar dan
langsung tancap gas pol meninggalkannya saat lampu hijau. Mencoba melihatnya
dari kaca spion, wajahnya pias kecewa. Atau saat tak sengaja bertemu di tukang
mie ayam dekat rumah. Aku sudah selesai makan dan tiba-tiba Rin datang memesan
mie ayam siap-siap duduk tapi aku segera bergegas ke kasir membayar dan
meninggalkannya begitu saja. Pura-pura tak melihat dia juga ada di sana. Tapi
itu bohong sekali, Rin menatapku dan sekilas aku juga menatapnya. Urusan ini
rumit seperti hubungan kami, hubungan tanpa status. Meminjam istilah anak muda
jaman sekarang, alias yang disingkat HTS. Aku tak tahu apakah aku benar-benar
mencintai Rinai sungguhan atau hanya perasaan sayang sebatas teman saja. Rin
gadis yang ramah, pekerja keras, sopan santunnya tak perlu diragukan lagi,
murah senyum pada setiap orang yang ia temui entah itu dikenalnya atau tidak. Rin
seorang guru SD di pusat kota, ia sangat mencintai anak-anak, berdamai dengan
tingkah laku mereka yang kadang melelahkan.
“Banyak yang kita ambil pelajaran dari seorang anak-anak Bang, mereka tak
banyak berfikir yang memusingkan macam kita orang dewasa ini, yang kadang
urusan itu sebenarnya sederhana malah mempersulit dengan pikiran yang belum
tentu itu terjadi. Dunia mereka hanya bermain, bermain dan bermain dan dalam
permainan itu mereka juga banyak belajar hal.” Itu jawaban Rin saat kutanya apa
alasannya menyukai anak-anak. Ah lembut sekali hati gadis ini, diam-diam kagum
itu mulai menelusup dalam dada.
Tapi ada yang kucemaskan, sikapnya ke orang lain, terlebih khusus kepada
lelaki juga sama halnya sikapnya padaku. Jadi aku bingung, apakah Rin juga
menyukaiku atau dia hanya menganggapku sebatas teman saja, tidak kurang tidak
lebih. Kegalauan ini membuatku mempersibuk diri dengan pekerjaan-pekerjaan di
kantor, membuat cemerlang karierku sebagai ‘manager’ di salah satu perusahaan
di kota kami.
Pagi itu, Pak Bos memanggil beberapa karyawannya untuk menghapa di
ruangannya. Termasuk Rudi juga dipanggil, aku tidak. Setengah jam berada di
dalam, sedikit banyak membuatku penasaran.
“Woi, ada apa tadi?” Aku bertanya pada Rudi, sebisa mungkin menyembunyikan
rasa penasaran. Tapi Rudi penabak yang ulung, kadang ulung salah kadang ulung
benar, hahaha. Dan kali ini dia ulung benar.
“Kau penasaran, Dam? Traktir makan siang dulu.” Rudi menyeringai puas,
tertawa. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sial, tepat waktu istirahat.
“Ye lah. Ye lah.” Akhirnya kami bergegas ke kantin, memesan soto, sama dengan
menu yang dipesan Rudi.
Dua porsi soto ayam siap disantap. Aku manambahkan sambal dan perasan jeruk
nipis di atasnya. Mengambil garpu dan sendok, siap lahap. Mantap! Kepul asap
dari mangkok menambah sedapnya makan siang ini. Rudi sangat menikamti sekali,
iyalah... Soto gratis. Yang gratis itu selalu nikmat, itu keyakinan kita selama
ini.
“Woi, tadi ada apa? Kau belum tuntas bercerita, malah belum sama sekali.”
Ditengah-tengah makan aku tiba-tiba bertanya, Rudi kaget, ia tersedak.
Cepat-cepat meraih air putih di sampingnya.
“Gila kau Dam, tak lihat apa aku sedang menikmati soto gratis ini.” Dia
protes, menepuk bahuku.
“Sejatinya tak ada yang gratis, Kawan. Kau harus membayarnya dengan berita
tadi pagi, dan aku bisa sesuka hati menagihnya kapan saja. Haha” Aku
menyeringai, tertawa puas.
“Ada penugasan karyawan ke pulau seberang.” Uhuk! Aku sempurna tersedak
demi mendengar berita yang dikatakan Rudi. Seketika itu ideku muncul. Mengambil
teh hangat di depanku, menyeruput satu tegukan.
“Sungguhan? Kau ikut?” Aku menyakinkan apa yang kudengar tak salah.
“Iya lah, untuk apa bohong. Ini perintah Bos, mana berani menolak. Aku
ikut.”
“Penugasan di mana?” Dari tadi Rudi kujejali pertanyaan-pertanyaanku demi
mengusir rasa penasaran.
“Di Pontianak, tapi tadi ada satu karyawan izin tidak bisa ikut. Istrinya
hamil tua, hampir melahirkan. Dia rela gajinya dipotong, demi menemani istri
melahirkan.”
“Bos mencari penggantinya tak?” Rudi mengangkat bahu, tak tahu. Hampir lima
menit waktu untuk membicarakan ini. Aku melanjutkan makan, Rudi pun sama.
Sembari berfikir, mungkinkah? Tak perlu pikir panjang. Selesai makan siang aku
bergegas ke kasir, membayar semuanya. Rudi tampak tersenyum puas menatapku dari
kursinya, mengangkat dua jempol. Bahagia sekali dia sekarang, awas saja pasti
kubalas, batinku dalam hati.
Sesampainya di kantor, aku menunggu Bos kembali ke ruangannya. Mencoba
mengajukan diri untuk mengganti karyawan yang dimaksud Rudi tadi. Sepuluh menit
menunggu, akhirnya yang ditunggu pun datang.
“Siang Pak,” basa-basi sedikit untuk menghormati Bos.
“Siang Damai, ada apa?”
“Em...” aku sedikit gugup, tapi keberanianku lebih tebal dan terkumpul
disaat waktu yang tepat.
“Saya dengar ada penugasan di Pontianak ya Pak?”
“Iya betul itu Dam,” si Bos tabiatnya memang seperti ini, agak cuek. Aku
maklum saja, seorang bos pasti banyak urusan.
“Emm, kalau gak salah kata Rudi tadi ada satu karyawan yang tidak bisa ikut
penugasan ya Pak?” Aku takut-takut bertanya, menunduk.
“Iya betul, kau mau menggantikannya, Dam?” Bukan main, pucuk dinanti,
ulampun tiba. Hatiku berseru riang.
“Em, boleh Pak, saya bisa ikut.” Aku mengangguk mantap.
“Tapi pekerjaanmu di sini bagaimana, Dam?” Si Bos menatapku serius. Aku
menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung.
“Bisa saya sambi di sana Pak, lagi pula saat ini pekerjaan di sini tidak
terlalu banyak.”
“Tapi penugasan ini hanya untuk karyawan, kau kan manager Dam.” Bos
mengalihkan pandangannya ke arahku, menatap serius. Aku kikuk di pandang atasan
seperti itu, gugup mulai menyergap.
“Emm anu Pak, kalau boleh tahu sebenarnya penugasan ke Pontianak ini untuk
apa Pak?” Entah keberanian dari mana aku berani bertanya seperti ini.
“Untuk pengembangan perusahaan Dam, memajukan perusahaan cabang Pontianak
dengan mengajari karyawan-karyawan di sana. Toh hanya 7 orang.”
Aku diam beberapa saat, mencoba berfikir agar bisa ikut penugasan itu.
“Nah saya tahu Pak, saya akan jadi motivator di sana untuk
karyawan-karyawannya. Memotivasi untuk bekerja keras dan sungguh-sunggauh agar
perusahaan kita semakin maju. Bisa diadakan dua minggu sekali atau sebulan
sekali disambi pekerjaan saya yang ada di sini. InsyaAllah saya bisa menghandle
keduanya, Pak. Bagaimana menurut Bapak?”
Ruang Pak Bos lengang, hanya bising suara AC yang terdengar. Beliau diam
beberapa saat, sedang berfikir seperti aku tadi. ‘Ya Tuhan, kumohon
kabulkanlah’ aku berharap dalam hati.
“Ide kau bagus juga Dam, motivasi untuk karyawan itu penting juga, apalagi
cabang di Pontianak masih baru.” Aku tersenyum senang, sepertinya tawaranku
akan diterima.
“Tapi sebentar...” Pak Bos melanjutkan bicaranya dengan suara menggantung
di akhir kalimat, membuat rona wajahku berubah dari senang menjadi harap-harap
cemas.
“Kenapa Pak?”
“Saya perlu memikirkannya matang-matang, Dam. Keahlianmu bekerja di sini
memang sudah tak diragukan lagi, tapi saya takut jika kau nyambi bekerja di
sana, urusanmu yang di sini akan tercecer.” Wajah Pak Bos berubah ragu. Aku
hanya diam, tertunduk. Benar juga apa yang Pak Bos katakan, ini tidak mudah.
“Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak merusak urusan pekerjaan
saya di sini Pak. Betul, Bapak perlu memikirkan ini. Saya menunggu keputusan
akhir Bapak.” Aku berkata lemas, antara optimis dan pesimis.
“Iya Dam, ya sudah silakan lanjutkan pekerjaanmu. Secepat mungkin akan saya
kabari.”
“Baik Pak, saya mohon diri.” Tersenyum. Pak Bos balas tersenyum. Aku
melangkah pergi dari ruang Pak Bos. Menyusuri lorong kantor yang terasa
lengang, setengah pikiranku kosong. Masih sangat berharap bisa ikut penugasan
di Pontianak. Terus melangkah menuju ruang kerja, memasang wajah kembali ceria
seperti tadi pagi. Aku tak boleh gampang putus asa seperti ini, ada misi yang
harus kulaksanakan. Kembali bekerja dengan semangat pagi.
Sampai di ruang kerja, melirik sebentar ke ponsel. Satu pesan masuk, tiga
panggilan tak terjawab. Semua dari Rin.
“Bang, kenapa pesanku tadi malam tak dibalas? Apa Bang
Damai benar-benar marah pada Rin?”
Alamak, aku lupa tak membalas pesannya. Cepat-cepat kuketik balasan untuk
Rin.
“Maaf baru sempat balas Rin, sibuk dengan urusan kantor.
Tadi malam Abang lembur, terlalu lelah dan langsung tidur setelah membaca
pesanmu, belum sempat kubalas, maaf. Abang tak marah pada Rin, hanya ingin
menepi saja dari dunia maya, fokus dengan pekerjaan Rin.”
Tak lupa menambahkan emotion senyum di ujung pesan. Semoga Rin tak curiga
dengan sikapku ini. Sejurus kemudian melanjutkan pekerjaan yang sempat
terabaikan setelah makan siang tadi.
***
“Kau tampak bahagia sekali dengan perjalanan ini, Dam. Pasti ada sesuatu.”
Rudi menyelidik, itu kebiasaan teman dekatku ini.
“Jangan-jangan kau berniat mencari cewek yang lebih menarik dari si manis
jelita kau itu di Pontianak sana?” Kebiasaan Rudi juga menduga yang tidak-tidak
meski kadang dugaannya benar, seperti yang kukatakan saat Rudi makan soto
gratis dariku. Kadang dianpenebak ulung yang salah, kadang sebaliknya. Aku
membenarkan duduk di kursi bus, sudah empat jam perjalanan, dan sepanjang itu
pula aku belum memejamkan mata. Lebih asyik memandangi pemandangan alam
sepanjang perjalanan dan memasang wajah bahagia macam anak kecil yang sedang
bertamasya ke luar kota.
“Asal ngomong saja kau, Rud. Tidak lah, justru sebaliknya. Aku akan
memperjelas semuanya dengan bentang jarak yang memisahkanku dengan Rin.” Wajah
Rudi berubah bingung, aku hafal sekali tampangnya yang sedang kebingungan.
Saling diam beberapa saat, membiarkan Rudi mencerna kata-kataku barusan.
“Maksud kau?” Sengaja menunggu Rudi bertanya lagi. Dan aku akan mulai
bercerita pada kawan karibku ini.
“Selama ini aku bingung Rud, apakah Rin juga menyukaiku atau tidak?
Sikapnya kepada lelaki lain hampir sama dengan sikapnya kepadaku, jangan-jangan
dia hanya menganggapku teman. Lantas, perasaan ini mau diapakan? Patah begitu
saja?”
“Dengan aku pergi jauh seperti ini tanpa mengabarinya, jika memang dia ada
perasaan padaku dia pasti akan mencariku. Dan aku akan menjawab seperlunya
saja, sengaja memperjarang komunikasi, biar rindu itu tumbuh di hatinya jika
benar dia menyukaiku.”
“Berapa bulan kita di Pontianak, Rud?” Aku bertanya pada Rudi yang dari
tadi takjim mendengar ceritaku.
“Eh, tiga bulan kata Pak Bos, itu bisa lebih cepat kalau urusannya lancar.”
“Ya, rentan waktu itu aku akan membuktikan perasaan Rin, apakah dia
benar-benar menyukaiku atau hanya sekedar menganggap teman, tidak kurang tidak
lebih. Dan aku akan membuatnya memperjelas perasaan itu padaku.”
“Lepas pulang dari Pontianak, dengan keberanianku sebagai seorang lelaki
dewas aku akan datang ke rumahnya. Bertanya, apakah dia mencintaiku? Aku sudah
memikirkan kemungkinan buruk jika pada akhirnya Rin tak menyukaiku. Aku siap
merasakan luka itu. Jika sebaliknya, itu akan menjadi kejutan. Tahun ini aku
akan melepas status bujang, Rud.”
“Yee, iya kalau Rin mau menikah denganmu, Kawan. Kalau tiak, siap-siap saja
kau patah hati. Haha ” Rudi mulai jahil, padahal matanya terkantuk-kantuk
mendengar ceritaku barusan.
“Siapa juga gadis yang tak mau denganku? Kau pun andaikata seorang gadis
pasti mau denganku, tapi aku butuh 1000 kali berfikir untuk menikahimu. Hahaha.
Kau tahu sendiri, aku ganteng, kerjaan
mapan, baik hati, tidak sombong, ramah, murah senyum. Siapa yang tak mau denganku?”
Aku menyeringai, tertawa. Sengaja bercanda membanggakan diri.
“Ye lah, ye lah. Percaya saja. Sudahlah, aku masih ngantuk, mau melanjutkan
tidur. Jangan kau ganggu tidurku,” Rudi melotot padaku, siapa juga yang berniat
menganggumu. Huh.
*Bersambung.....