Enter Header Image Headline Here

Jumat, 18 Maret 2016

Penantian Seorang Lelaki

Lelaki itu menatap langit penuh khidmat. Matanya menyipit saat sinar matahari menabrak wajah tirus lonjongnya. Sesaat kemudian ia berdiri dari kursi panjang di taman kota. Berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di tempat parkir. Sosok lelaki yang tinggi tegap namun tubuhnya lumayan kurus. Kulitnya coklat matang seperti warna sawo. Raut muka yang serius, tipikal orang yang berfikir keras membuat lelaki itu terlihat lebih tua dari umur sebenarnya. Lengkap dengan kacamata yang terpakai, seperti bapak-bapak yang telah mempunyai anak.


Taman nampak sepi, sudah satu jam lebih lelaki itu duduk di kursi
taman. Menunggu seseorang yang telah berjanji akan bertemu di sini. Tapi nihil, yang ditunggu tak kunjung datang. Mungkin, jika bukan orang yang penting baginya, ia tak mau menunggu selama itu.


Lima langkah lagi ia sampai di depan pintu mobil, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia membalikkan badan ke arah belakang, menatap lamat-lamat ke arah kursi panjang di taman itu. Beberapa detik melesat cepat, perlahan kakinya melangkah. Memutuskan untuk kembali duduk di kursi taman. Kembali menunggu orang penting baginya, yang tak lain adalah calon ibu dari anak-anaknya. Jika tidak terhalang suatu hal, akad
itu akan terlaksana. Segera. 



***

Sedangkan di tempat yang lain, seorang perempuan duduk menunduk. Wajahnya tertutup hijab, namun di bagian bawah, hijab itu basah. Ya, gadis itu sedang menangis. Bukan tanpa sebab, pastinya ada hal yang membuatnya menitikan air mata. Bibirnya membisu, tak mampu berucap. Hanya hati yang bergumam lirih;
"Jangan menungguku, Mas. Aku tak akan pernah datang ke sana. Ada yang lebih pantas bersanding denganmu daripada aku. Ada banyak perempuan yang mengejarmu, aku mundur Mas. Aku banyak kekurangan, sedangkan kau banyak kelebihan. Aku tak pantas untukmu."

Masalah dua hati yang belum jelas perkaranya, membuat kedua insan itu merasa tersakiti. Duh, semoga masih bisa dipertahankan. Lelaki itu pun masih sabar menanti, berharap takdir cintanya bersatu dengan gadis yang sudah enam tahun namanya terapal dalam doa.


(Semoga benar-benar nyata)

Seseorang

Seseorang ...
Lihatlah di sana!
Sulaman dengan dua gambar cartoon yang lucu telah kurampungkan beberapa bulan yang lalu. Aku merasa puas.
Sangat puas.

Andai aku boleh
mengibaratkan, yang kanan adalah seorang laki-laki dan itu kau, yang
kiri adalah perempuan. Semoga itu aku.
Februari lalu aku mulai
merangkainya dan rampung saat kita sudah tak sedekat dulu lagi.
Aku tak menyesali kejadian yang telah terjadi. Tidak!

Ah entahlah, kapan akan
kuberikan sulaman itu kepadamu. Bisa jadi saat kau berbahagia. Ya,
berbahagia dengan orang lain atau berbahagia denganku?
Wallahu a'lam...

Siapapun yang akan
mendampingimu nanti, aku turut bahagia. Karena
sejatinya takdir telah ditentukan sejak zaman azali oleh-Nya.
Tulang rusuk tidak pernah tertukar, itu yang kuyakini.
Tak perlu kau tau bahwa aku menyimpan rasa dalam persahabatan ini.
Yang perlu kau tahu, jika suatu saat nanti sulaman itu telah ada di tanganmu maka pandangilah.
Setiap kotak kecil yang telah terisi benang-benang lembut itu adalah kumpulan rindu yang kurangkai disana. Memanjang sepanjang
waktu aku mengagumimu.


Aku menantimu, Seseorang. Dalam diam. 


RINDU MEMBEKU


Remah-remah bayang berkelebat menghantuiku
Membawakan setampan kenang yang harus kutelan
Tapi ... yang kucari tak ada dalam kenang
Duh Sayang, izinkan aku menemukanmu
Walau dalam gulita malam
Walau aku tak tahu siapa engkau

Pagi itu, kubuka tirai fajar yang didekap gelapnya dingin
Memandangi bumi yang semakin mengecil

Kau tahu?
Sebongkah rindu yang menggigil telah kutemukan
Membeku dalam penantian panjang
Sesengguk tangis mewarnai kebekuannya

Oooh! Rindu ...

Lalu, saat senja mulai merangkak pergi
Rindu seakan turut mengikuti
Meninggalkan jiwa yang lari
Terhuyung ia mencari tambatan hati

Hingga jasadku kini terpaku, terbelenggu
Sendiri terpekur menunggu kabarmu
Ditemani sekelumit gundah yang kian membisu
Rinduku membeku, menggunung dalam bongkahan salju 


Rindu untuk siapa?
Entahlah, aku tak tau ...


Ponorogo, 23 Des 2014

Amarah

Gubukku terbakar emosi
Nafas bengap membumbung tinggi
Beradu panas dengan hati
Kian menit kian tergilas suci
Pondasi iman hilang tercaci

Pada hati yang masih sehat
Berpegang kuat pada hakekat
Diam menjaga martabat
Tersenyum penuh semangat

Jika jiwa masih ingat mati
Maka perdamaian menjadi jati diri
Biar lambat namun pasti
Akan hidup yang hanya janji

Amarah lisan terdengar keras
Hingga telinga kucing menjadi panas
Keluarkan kata-kata ganas
Akankan mengabu gubukku yang welas?

Ponorogo, 21 Des 2014



Tentang Sebuah Rindu (lagi)


Di balik senja yang bergulir manja pada ufuk barat, menyemai sinar saga yang merona. Syam sebentar lagi akan bertukar tugas dengan bulan. Di saat itu pula, malaikat langit merekam percakapan dua bidadari bumi. Sebuah elegi rasa yang menghanyutkan para perasa.

"Bu, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Gadis itu mendekat pada seorang ibu. Tatapannya mengharap belas kasih. Seakan kerinduan terpancar dari raut wajahnya.
Ibu paruh baya itu menjawab dengan senyuman, sembari tangannya membelai jilbab sang gadis.

"Tentu, Nak. Apa yang akan kautanyakan?" Senyum kembali mengembang. Anggun sekali senyum itu.
"Apakah rindu itu selalu ada ketika jarak membentangkan dua insan, Bu?" Ucap sang gadis lirih, penuh kehati-hatian.
Tangan ibu itu menyentuh dagu si gadis, pelan. Mendongakkannya ke atas. Sorot matanya indah, bulat bening. Memancarkan sebuah rasa penasaran yang besar.
"Rindu? Kau sedang merindukan seseorang, Nak?" Ibu itu menyelidik. Seketika wajah si gadis menunduk. Malu. Tak ada jawaban.
Hening menyergap keduanya. Hanya dentingan jam yang terdengar. Senyap.

"Rindu itu ibarat sebuah doa, Nak. Kau mampu merasakan saat berjauhan dengan seseorang. Namun wujudnya sulit kau jangkau kan? Kecuali pertemuan itu terwujud. Pun doa yang kaulantunkan dijawab oleh-Nya. Orang yang merindu terkadang hanya berpacu pada satu nama. Seperti kaumerindukan Sang Maha Cinta, merindukan pertemuan husnul khatimah. Di sana selalu ada jarak yang memisahkan keduanya." Sang ibu berkata lembut. Kasih sayang terpancar jelas di wajah tuanya.

"Lantas, bagaimana mengobati rindu itu, Bu?" Tanya si gadis lagi. Mata jelinya berpaut dengan wajah ibu itu. Ia berusaha menguak teka-teki yang sedang menjamah pikiran.
"Banyak cara, Nak. Setiap orang pun pasti berbeda mengekspresikan rasa rindu tersebut. Salah satunya; tuangkan pena rindumu pada secarik  kertas. Biarkan ia menari gemulai di atasnya. Atau dengan cara yang paling ampuh, berdoalah. Doakan dia yang kaurindukan. Langsung tidak langsung, dia pasti akan merasakan."

"Aku merindukan seseorang, Bu. Tapi aku tidak tau nama dan rupanya. Setiap malam kurasakan getarnya, jelas berdetak di bilik jantung." Gadis itu mulai bercerita. Membagikan gejolak jiwa yang tengah ia rasakan.

"Kau tak tau namanya?"
"Ya, aku tak tau, Bu. Hanya angan-angan semu yang menyelimuti batas pikiranku saat aku mencoba menerjemahkan apa yang kurasa."

"Ia ada di sini dan di sini." Ibu itu menunjuk tepat di dada dan kepala.
"Jaga ia, Nak. Rapikan, jangan sampai merusak imanmu. Letakkan ia pada tempat yang tepat. Gantungkan semua harap pada Sang Maha Pemberi."

Si gadis mematung. Ia semakin tak mengerti. Ingin bertanya, namun pertanyaan itu seakan tertahan di tenggorokan.

"Kau sedang jatuh hati, Nak. Perihal siapa gerangan yang kau maksud, sejatinya hanya kau dan Dia yang tau saat ini. Jaga ia!" Ibu itu melangkah pergi, meninggalkan gadis seorang diri. Menatap syam yang beberapa detik lagi sempurna terlahap bumi.
Pertanyaan baru menggantung dalam benaknya. Namun, cukup saat ini biarlah tanya itu hanya dia yang tau. Nanti jika sudah tepat, waktu lah yang akan menjawab semuanya.

Istana yang Dirindukan

Istana yang Dirindukan
 
Hembusan bayu layangkan dahaga
Berkecamuk janji yang hampir terlupa
Kias jelaga rindu menghias
Pada ayal kian terhempas

Istanaku jauh dipandang
Sekilas dekat dalam bayang
Berteriak memanggilku pulang
Tapi tunggu, aku belum bisa Sayang...

Kuterbangkan saja simpul dedoa untukmu
Lewat untaian angin yang pilu
Tak pernah terlepas ingatan tentangmu
Istana cinta hati dan jiwaku

Oo rindu... semakin dalam hingga mengakar
Semerbak wangi rona memekar
Menjelma senyum semangat di hati
Demi bertahan hingga akhir nanti

27/11/15
Dari kami anak rantau, Nila & Nany
 

Sabtu, 12 Maret 2016

Damai dan Rinai



Damai dan Rinai

“Kau sekarang tambah pendiam saja, Dam? Kenapa?” Celetuk Rudi tiba-tiba saat makan siang di kantin kantor, sedang  jam istirahat. Aku menatapnya bingung.
“Eh?”apanya yang pendiam, itu maksud tatapanku.
“Jadi pendiam di dunia maya, tapi tambah rese di dunia nyata. Hahaha.” Rudi menyeringai, mood jahilnya sedang on. Aku malas menanggapi, mengangkat bahu. Itu jelas-jelas karangan Rudi saja.
“Kenapa?” Rudi mengulangi pertanyaannya.
“Kenapa apanya?” Pura-pura belum paham.
“Kenapa kau jadi pendiam di dunia maya, tutup akun segala lagi?” Rudi mencomot tempe yang ada di piring, tambah satu lagi. Nasi pecel di piringnya hampir tandas. Aku menyeruput teh pesananku, nasi pecel di piring sudah bersih sejak dua menit yang lalu. Rudi lebih banyak ngomong saat makan, cerita tentang pertandingan bola tadi malam ditambah pertanyaan aneh barusan, membuatnya sedikit memperlambat makan.
“Kenapa? Kau rindu dengan puisi-puisiku yang menggambarkan bujang lapuk sepertimu? Haha.” 1-1, aku membalas kejahilannya. Wajahnya berubah kusut, macam kertas bekas coretanku yang gagal dan akhirnya kuremas membentuk bulat, lalu kubuang di tempat sampah.
“Yee, siapa juga yang kangen, gak lah. Kau itu ditanya malah balik tanya. Kebiasaan buruk, mengalihkan pembicaraan saja.” Jawab Rudi ketus. Nasi pecelnya sudah habis, tinggal suapan terakhir setelah menjawabku barusan.
“Tak ada apa-apa, hanya ingin menepi dari dunia yang terkadang penuh dusta itu.” Aku menjawab ‘sok-serius’. Teh hangat di depanku  tinggal separuh, menyeruputnya lagi.
“Penuh dusta? Kau tak sedang ada masalah dengan gadis kau si manis jelita itu, kan?” Rudi menyelidik, tatapannya fokus menatap mataku. Risih aku ditatap seperti itu, macam adegan-adegan film yang suka ditonton Rudi saja. Kutimpuk pipinya dengan koran di meja, dia mengaduh. Suruh siapa melototiku seperti itu. Haha.
“Tak usah seperti itu pandanganmu, malulah dilihat orang lain.”
“Eh maaf,” Rudi nyengir kuda. Lantas menyeruput es teh di depannya sekali teguk  sampai hampir habis. Ini orang haus apa rakus? Aku membatin, geleng-geleng kepala.
“Tak ada hubungannya dengan Rinai.” Aku menjawab ‘sok-serius’ lagi dan senormal mungkin.
Bahkan Rudi ingat si manis jelita, Rinai. Seminggu lebih aku sengaja menutup komunikasi dengannya. Rin, kau sedang apa di sana? Aku sedang menatap piring yang hanya tinggal beberapa nasi saja, tak lebih dari lima butir nasi yang tersisa. Ditemani dengan Rudi, teman yang suka menjahiliku, teman terbaik sepanjang masa sejak kami masih merah berlumur darah. Sejatinya aku menutup akun dan menjauh dari dunia maya, sedikit banyak memang karena kau, Rinai.

***
‘Sudah seminggu lebih Bang Damai menutup akunnya, ada apa? Apa Rin punya salah pada Abang? Kenapa Bang Damai tiba-tiba pergi begitu saja, tanpa memberi kabar?’
Gadis yang disebut Damai dan Rudi si manis jelita itu berdiri di bibir jendela, menatap keluar. Hujan semakin deras, sama halnya dengan gelisah yang semakin menebal melingkupi hati Rin. Sebuah pesan di ponselnya sudah diketik, tinggal klik ‘send’ tapi urung dilakukannya. Rin ragu, pikiran negatifnya bercampur aduk dengan rasa gelisah.
‘Jangan-jangan Bang Damai marah, karena akhir-akhir ini Rin terlalu dekat dengan teman baru di dunia maya, sering komen-komenan. Tapi itu kan hanya teman, secemburu itukah Bang Damai? Ah, Bang Damai bukan orang seperti itu.’ Setengah hatinya membela, berfikir dengan baik.
‘Atau mungkin Bang Damai sibuk dengan pekerjaan di kantor, daripada fb mengganggu lebih baik ditutup saja akunnya.’
Perang hati Rin tak henti-henti membingungkannya, membuat pesan yang telah ia ketik terabaikan begitu saja. Lima menit berlalu, lima menit itu pula membuat Rin berfikir jernih, tak ada salahnya mengirim pesan, mencoba menanyakan kabar Bang Damai.
‘Abang apa kabar? Kenapa seminggu lebih tutup akun? Marahkah dengan Rin?’
Pesan terkirim dan dering ponsel si penerima yang hanya berjarak lima kilo meter dari si pengirim pesan berbunyi. Suaranya dikalahkan dengan gemuruh air hujan yang turun semakin  menderas. Damai tak mendengar bunyi pesan masuk di ponselnya, sedang fokus dengan tugas kantor, malam ini ada jadwal lembur untuknya yang boleh dikerjakan di rumah.
Hampir pukul 12 Damai baru saja membaca pesan si manis jelita. Mengabaikannya, hanya dibaca dan kemudian meletakkan ponsel di atas meja. Tubuhnya lelah, segera butuh istirahat. Menarik selimut dan akhirnya terbang di dunia kapuk.
***
Aku memang sengaja menjauh dari Rinai, alasannya? Sungguh aku tak tahu pasti. Semua ini butuh waktu untuk memperjelas. Rin mungkin bingung saat berpapasan di lampu merah, dia berseru-seru memanggilku, aku pura-pura tak mendengar dan langsung tancap gas pol meninggalkannya saat lampu hijau. Mencoba melihatnya dari kaca spion, wajahnya pias kecewa. Atau saat tak sengaja bertemu di tukang mie ayam dekat rumah. Aku sudah selesai makan dan tiba-tiba Rin datang memesan mie ayam siap-siap duduk tapi aku segera bergegas ke kasir membayar dan meninggalkannya begitu saja. Pura-pura tak melihat dia juga ada di sana. Tapi itu bohong sekali, Rin menatapku dan sekilas aku juga menatapnya. Urusan ini rumit seperti hubungan kami, hubungan tanpa status. Meminjam istilah anak muda jaman sekarang, alias yang disingkat HTS. Aku tak tahu apakah aku benar-benar mencintai Rinai sungguhan atau hanya perasaan sayang sebatas teman saja. Rin gadis yang ramah, pekerja keras, sopan santunnya tak perlu diragukan lagi, murah senyum pada setiap orang yang ia temui entah itu dikenalnya atau tidak. Rin seorang guru SD di pusat kota, ia sangat mencintai anak-anak, berdamai dengan tingkah laku mereka yang kadang melelahkan.
“Banyak yang kita ambil pelajaran dari seorang anak-anak Bang, mereka tak banyak berfikir yang memusingkan macam kita orang dewasa ini, yang kadang urusan itu sebenarnya sederhana malah mempersulit dengan pikiran yang belum tentu itu terjadi. Dunia mereka hanya bermain, bermain dan bermain dan dalam permainan itu mereka juga banyak belajar hal.” Itu jawaban Rin saat kutanya apa alasannya menyukai anak-anak. Ah lembut sekali hati gadis ini, diam-diam kagum itu mulai menelusup dalam dada.
 Tapi ada yang kucemaskan,  sikapnya ke orang lain, terlebih khusus kepada lelaki juga sama halnya sikapnya padaku. Jadi aku bingung, apakah Rin juga menyukaiku atau dia hanya menganggapku sebatas teman saja, tidak kurang tidak lebih. Kegalauan ini membuatku mempersibuk diri dengan pekerjaan-pekerjaan di kantor, membuat cemerlang karierku sebagai ‘manager’ di salah satu perusahaan di kota kami.
Pagi itu, Pak Bos memanggil beberapa karyawannya untuk menghapa di ruangannya. Termasuk Rudi juga dipanggil, aku tidak. Setengah jam berada di dalam, sedikit banyak membuatku penasaran.
“Woi, ada apa tadi?” Aku bertanya pada Rudi, sebisa mungkin menyembunyikan rasa penasaran. Tapi Rudi penabak yang ulung, kadang ulung salah kadang ulung benar, hahaha. Dan kali ini dia ulung benar.
“Kau penasaran, Dam? Traktir makan siang dulu.” Rudi menyeringai puas, tertawa. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sial, tepat waktu istirahat.
“Ye lah. Ye lah.” Akhirnya kami bergegas ke kantin, memesan soto, sama dengan menu yang dipesan Rudi.
Dua porsi soto ayam siap disantap. Aku manambahkan sambal dan perasan jeruk nipis di atasnya. Mengambil garpu dan sendok, siap lahap. Mantap! Kepul asap dari mangkok menambah sedapnya makan siang ini. Rudi sangat menikamti sekali, iyalah... Soto gratis. Yang gratis itu selalu nikmat, itu keyakinan kita selama ini.
“Woi, tadi ada apa? Kau belum tuntas bercerita, malah belum sama sekali.” Ditengah-tengah makan aku tiba-tiba bertanya, Rudi kaget, ia tersedak. Cepat-cepat meraih air putih di sampingnya.
“Gila kau Dam, tak lihat apa aku sedang menikmati soto gratis ini.” Dia protes, menepuk bahuku.
“Sejatinya tak ada yang gratis, Kawan. Kau harus membayarnya dengan berita tadi pagi, dan aku bisa sesuka hati menagihnya kapan saja. Haha” Aku menyeringai, tertawa puas.
“Ada penugasan karyawan ke pulau seberang.” Uhuk! Aku sempurna tersedak demi mendengar berita yang dikatakan Rudi. Seketika itu ideku muncul. Mengambil teh hangat di depanku, menyeruput satu tegukan.
“Sungguhan? Kau ikut?” Aku menyakinkan apa yang kudengar tak salah.
“Iya lah, untuk apa bohong. Ini perintah Bos, mana berani menolak. Aku ikut.”
“Penugasan di mana?” Dari tadi Rudi kujejali pertanyaan-pertanyaanku demi mengusir rasa penasaran.
“Di Pontianak, tapi tadi ada satu karyawan izin tidak bisa ikut. Istrinya hamil tua, hampir melahirkan. Dia rela gajinya dipotong, demi menemani istri melahirkan.”
“Bos mencari penggantinya tak?” Rudi mengangkat bahu, tak tahu. Hampir lima menit waktu untuk membicarakan ini. Aku melanjutkan makan, Rudi pun sama. Sembari berfikir, mungkinkah? Tak perlu pikir panjang. Selesai makan siang aku bergegas ke kasir, membayar semuanya. Rudi tampak tersenyum puas menatapku dari kursinya, mengangkat dua jempol. Bahagia sekali dia sekarang, awas saja pasti kubalas, batinku dalam hati.
Sesampainya di kantor, aku menunggu Bos kembali ke ruangannya. Mencoba mengajukan diri untuk mengganti karyawan yang dimaksud Rudi tadi. Sepuluh menit menunggu, akhirnya yang ditunggu pun datang.
“Siang Pak,” basa-basi sedikit untuk menghormati Bos.
“Siang Damai, ada apa?”
“Em...” aku sedikit gugup, tapi keberanianku lebih tebal dan terkumpul disaat waktu yang tepat.
“Saya dengar ada penugasan di Pontianak ya Pak?”
“Iya betul itu Dam,” si Bos tabiatnya memang seperti ini, agak cuek. Aku maklum saja, seorang bos pasti banyak urusan.
“Emm, kalau gak salah kata Rudi tadi ada satu karyawan yang tidak bisa ikut penugasan ya Pak?” Aku takut-takut bertanya, menunduk.
“Iya betul, kau mau menggantikannya, Dam?” Bukan main, pucuk dinanti, ulampun tiba. Hatiku berseru riang.
“Em, boleh Pak, saya bisa ikut.” Aku mengangguk mantap.
“Tapi pekerjaanmu di sini bagaimana, Dam?” Si Bos menatapku serius. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung.
“Bisa saya sambi di sana Pak, lagi pula saat ini pekerjaan di sini tidak terlalu banyak.”
“Tapi penugasan ini hanya untuk karyawan, kau kan manager Dam.” Bos mengalihkan pandangannya ke arahku, menatap serius. Aku kikuk di pandang atasan seperti itu, gugup mulai menyergap.
“Emm anu Pak, kalau boleh tahu sebenarnya penugasan ke Pontianak ini untuk apa Pak?” Entah keberanian dari mana aku berani bertanya seperti ini.
“Untuk pengembangan perusahaan Dam, memajukan perusahaan cabang Pontianak dengan mengajari karyawan-karyawan di sana. Toh hanya 7 orang.”
Aku diam beberapa saat, mencoba berfikir agar bisa ikut penugasan itu.
“Nah saya tahu Pak, saya akan jadi motivator di sana untuk karyawan-karyawannya. Memotivasi untuk bekerja keras dan sungguh-sunggauh agar perusahaan kita semakin maju. Bisa diadakan dua minggu sekali atau sebulan sekali disambi pekerjaan saya yang ada di sini. InsyaAllah saya bisa menghandle keduanya, Pak. Bagaimana menurut Bapak?”
Ruang Pak Bos lengang, hanya bising suara AC yang terdengar. Beliau diam beberapa saat, sedang berfikir seperti aku tadi. ‘Ya Tuhan, kumohon kabulkanlah’ aku berharap dalam hati.
“Ide kau bagus juga Dam, motivasi untuk karyawan itu penting juga, apalagi cabang di Pontianak masih baru.” Aku tersenyum senang, sepertinya tawaranku akan diterima.
“Tapi sebentar...” Pak Bos melanjutkan bicaranya dengan suara menggantung di akhir kalimat, membuat rona wajahku berubah dari senang menjadi harap-harap cemas.
“Kenapa Pak?”
“Saya perlu memikirkannya matang-matang, Dam. Keahlianmu bekerja di sini memang sudah tak diragukan lagi, tapi saya takut jika kau nyambi bekerja di sana, urusanmu yang di sini akan tercecer.” Wajah Pak Bos berubah ragu. Aku hanya diam, tertunduk. Benar juga apa yang Pak Bos katakan, ini tidak mudah.
“Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak merusak urusan pekerjaan saya di sini Pak. Betul, Bapak perlu memikirkan ini. Saya menunggu keputusan akhir Bapak.” Aku berkata lemas, antara optimis dan pesimis.
“Iya Dam, ya sudah silakan lanjutkan pekerjaanmu. Secepat mungkin akan saya kabari.”
“Baik Pak, saya mohon diri.” Tersenyum. Pak Bos balas tersenyum. Aku melangkah pergi dari ruang Pak Bos. Menyusuri lorong kantor yang terasa lengang, setengah pikiranku kosong. Masih sangat berharap bisa ikut penugasan di Pontianak. Terus melangkah menuju ruang kerja, memasang wajah kembali ceria seperti tadi pagi. Aku tak boleh gampang putus asa seperti ini, ada misi yang harus kulaksanakan. Kembali bekerja dengan semangat pagi.
Sampai di ruang kerja, melirik sebentar ke ponsel. Satu pesan masuk, tiga panggilan tak terjawab. Semua dari Rin.
“Bang, kenapa pesanku tadi malam tak dibalas? Apa Bang Damai benar-benar marah pada Rin?”
Alamak, aku lupa tak membalas pesannya. Cepat-cepat kuketik balasan untuk Rin.
“Maaf baru sempat balas Rin, sibuk dengan urusan kantor. Tadi malam Abang lembur, terlalu lelah dan langsung tidur setelah membaca pesanmu, belum sempat kubalas, maaf. Abang tak marah pada Rin, hanya ingin menepi saja dari dunia maya, fokus dengan pekerjaan Rin.”
Tak lupa menambahkan emotion senyum di ujung pesan. Semoga Rin tak curiga dengan sikapku ini. Sejurus kemudian melanjutkan pekerjaan yang sempat terabaikan setelah makan siang tadi.
***
“Kau tampak bahagia sekali dengan perjalanan ini, Dam. Pasti ada sesuatu.” Rudi menyelidik, itu kebiasaan teman dekatku ini.
“Jangan-jangan kau berniat mencari cewek yang lebih menarik dari si manis jelita kau itu di Pontianak sana?” Kebiasaan Rudi juga menduga yang tidak-tidak meski kadang dugaannya benar, seperti yang kukatakan saat Rudi makan soto gratis dariku. Kadang dianpenebak ulung yang salah, kadang sebaliknya. Aku membenarkan duduk di kursi bus, sudah empat jam perjalanan, dan sepanjang itu pula aku belum memejamkan mata. Lebih asyik memandangi pemandangan alam sepanjang perjalanan dan memasang wajah bahagia macam anak kecil yang sedang bertamasya ke luar kota.
“Asal ngomong saja kau, Rud. Tidak lah, justru sebaliknya. Aku akan memperjelas semuanya dengan bentang jarak yang memisahkanku dengan Rin.” Wajah Rudi berubah bingung, aku hafal sekali tampangnya yang sedang kebingungan. Saling diam beberapa saat, membiarkan Rudi mencerna kata-kataku barusan.
“Maksud kau?” Sengaja menunggu Rudi bertanya lagi. Dan aku akan mulai bercerita pada kawan karibku ini.
“Selama ini aku bingung Rud, apakah Rin juga menyukaiku atau tidak? Sikapnya kepada lelaki lain hampir sama dengan sikapnya kepadaku, jangan-jangan dia hanya menganggapku teman. Lantas, perasaan ini mau diapakan? Patah begitu saja?”
“Dengan aku pergi jauh seperti ini tanpa mengabarinya, jika memang dia ada perasaan padaku dia pasti akan mencariku. Dan aku akan menjawab seperlunya saja, sengaja memperjarang komunikasi, biar rindu itu tumbuh di hatinya jika benar dia menyukaiku.”
“Berapa bulan kita di Pontianak, Rud?” Aku bertanya pada Rudi yang dari tadi takjim mendengar ceritaku.
“Eh, tiga bulan kata Pak Bos, itu bisa lebih cepat kalau urusannya lancar.”
“Ya, rentan waktu itu aku akan membuktikan perasaan Rin, apakah dia benar-benar menyukaiku atau hanya sekedar menganggap teman, tidak kurang tidak lebih. Dan aku akan membuatnya memperjelas perasaan itu padaku.”
“Lepas pulang dari Pontianak, dengan keberanianku sebagai seorang lelaki dewas aku akan datang ke rumahnya. Bertanya, apakah dia mencintaiku? Aku sudah memikirkan kemungkinan buruk jika pada akhirnya Rin tak menyukaiku. Aku siap merasakan luka itu. Jika sebaliknya, itu akan menjadi kejutan. Tahun ini aku akan melepas status bujang, Rud.”
“Yee, iya kalau Rin mau menikah denganmu, Kawan. Kalau tiak, siap-siap saja kau patah hati. Haha ” Rudi mulai jahil, padahal matanya terkantuk-kantuk mendengar ceritaku barusan.
“Siapa juga gadis yang tak mau denganku? Kau pun andaikata seorang gadis pasti mau denganku, tapi aku butuh 1000 kali berfikir untuk menikahimu. Hahaha. Kau tahu sendiri,  aku ganteng, kerjaan mapan, baik hati, tidak sombong, ramah, murah senyum. Siapa yang tak mau denganku?” Aku menyeringai, tertawa. Sengaja bercanda membanggakan diri.
“Ye lah, ye lah. Percaya saja. Sudahlah, aku masih ngantuk, mau melanjutkan tidur. Jangan kau ganggu tidurku,” Rudi melotot padaku, siapa juga yang berniat menganggumu. Huh.

*Bersambung.....

PERTEMUAN




Sejak berdiri di sini beberapa menit yang lalu dan sekarang ngobrol dengan kawan lama, aku tahu seseorang itu sedang berdiri pula tak jauh dari tempatku ini. Mataku bisa melihatnya meski itu bukan pandangan fokus. Sejak menuju tempat ini dan tahu seseorang itu berdiri di sana, degub itu terasa, desir itu seakan menyisir setiap langkah, menaiki satu persatu anak tangga. Aahhh...
Berdiri di atas balkon di depan kelas. Ramai-ramai, karena hampir semua alumni yang melanjutkan study ada di acara ini.
Aku mengalihkan pandangan ke bawah, melihat satu dua orang melintasi halaman sekolah. Seseorang itu melewatiku, dan berhenti untuk menyapa teman sekamarku di tanah rantau. Ah, andaikan tadi berdiri di sana, batinku protes. Seseorang itu menghilang, entah kemana. Luput dari pandangan.
Aku masih memandang halaman bawah sembari bercakap-cakap dengan kawan. Menceritakan dunia kampus, aku yang lebih banyak mendengarkan. Sesekali balik bercerita atau tertawa mendengar cerita lucu mereka. Dan saat itu, saat tak kusadari. Seseorang itu menepuk pundakku dengan gulungan kertas. Aku membalikkan badan. Duuh... Seseorang itu.
"Hey, gimana kabarnya?" Dia tersenyum, senyum khas yang memamerkan jejeran giginya.
"Alhamdulillah, kamu sendiri?"
"Hemm, alhamdulillah. Kapan pulang?"
"Sejak akhir Desember lalu."
"Heyyy, ayo cepetan!" Panggil seorang perempuan di ujung balkon sana sambil melambaikan tangan ke arah seseorang yang ada di depanku.
"Iya sek bentar." Ia memberi kode dengan tangannya yang diangkat ke atas.
Duh, tu anak gak tahu apa, ini ada teman lama yang lama gak ketemu. Ah, perempuan itu, aku tahu siapa dia. Kedekatan mereka masih sama.
"Terus-terus..." Tanya seseorang di depanku, berusaha mengembalikan pembicaraan tadi.
"Apanya yang terus?" Dia berubah seperti tergesa-gesa.
"Kapan balik ke rantauan?"
"Tanggal 10an lah kayaknya. Tanggal 15 sudah masuk."
"Eh sama, maksudnya masuknya. Tapi aku balik tanggal 14 mungkin."
"Iyalah, deket situ. Aku mah jauh."
Dia tertawa kecil.
"Hehe.. Eh udah dulu ya, aku duluan."
"Yaps, silakan."
Dan kata-kata terakhir, itu yang selalu dia ucapkan entah di pesan atau bertemu langsung.
"Moga sukses."
"Aamiin, kamu juga."
'Ah Kenang, kau masih sama. Tak banyak berubah, dan apa yang terpendam ini juga masih sama. Entah sampai kapan aku menyimpannya. Harapan kecil itu masih menyala, semoga berakhir bahagia. Dan aku tahu, akhir bahagia tak harus bersatu denganmu di sana. Bahkan, melihatmu bahagia itu juga telah membuatku bahagia. Sungguh...'
M2P, 23/01/16
Pertemuan pertama, sejak perpisahan itu. Agustus tahun lalu.

Hujan dan Sebait Rindu


Hujan dan Sebait Rindu
Oleh: N.M

Hujan.. datanglah, akan kukisahkan padamu
Tentang sajak yang muram
Berdiri meratapi dawai hati
Terhempas oling oleh angin lalu
Langkah yang terseok lalui lorong waktu
Luka hati tertembus jiwa, menyatu

Ah hujan, mampukah kau tepiskan semua itu?
Rubah hati menjadi dingin sepertimu
Hujani jiwa agar ia bersih
Sebersih bening yang kau punya
Mampukah wahai jiwa?

Seperti sebait rindu yang terjaga
Kepadanya yang entah siapa
Bahkah terlalu dalam rasanya
Ah lagi-lagi tentang rindu
Gema mengalun merdu
Bagai nada-nada yang menenangkan
Beredar tanpa tuan
Rindu, kau semu...
31/01/16

Ia menjauh dari rindu yang tak pernah pulang. Pergi, melepaskan

Popular Posts