*4
(Aku, Kau dan Dia)
Malam mulai merangkak menuju peristirahatan. Bintang gemintang
kerlap-kerlip menghiasi angkasa malam. Menyisakan pemandangan yang
indah. Baru pukul setengah sembilan. Seperti biasa, aku menunggu ia
pulang kerja. Setidaknya, setelah ia sampai rumah dan jika tidak lelah,
ia akan menemaniku SMS-an. Bertukar cerita, aku yang sering bercerita.
Ia mendengarkan, tak jarang juga memberi saran. Dia pendengar yang baik,
aku senang bercerita padanya.
Entah bagaimana semua ini terjadi.
Malam itu, saat aku ngobrol dengan Ray lewat pesan singkat. Aku
mengenalkannya pada Ray. Bilang ada seseorang yang baik hati, lembut
tutur kata, dan semua tentang kebaikannya. Aku menganggapnya seperti
kakak kandungku sendiri.
"Waah, seneng banget pasti. Akun facebooknya apa? Boleh dong aku add."
Aku menyebutkan nama akunnya. Setelah itu mungkin mereka berkenalan di
facebook. Hey, kau tahu Ray? Sampai sekarang aku tak tahu alasannya,
kenapa dia kukenalkan padamu. Kagum itu belum kusadari.
Waktu
berjalan, pertemanan kita semakin dekat. Persis seperti saudara kandung
yang terpisah jauh. Kala itu semua masih baik-baik saja.
Aku
mengenalkannya pada Ray sebelum Ramadhan. Karena saat puasa, ada sebuah
bingkisan yang harus kuantar ke rumah Ray. Ah Ray, dia terlalu baik,
bukan?
***
"Apa kau menyukainya, Dek?"
Deg! Pertanyaan itu cepat sekali. Bahkan orang lain lah yang sebenarnya tahu apa yang kurasa.
'Aku tak tahu.' Hatiku membatin. Bagaimana bisa? Apa aku benar-benar
mulai menyukainya? Ya, kuakui, selama ini aku memang mengaguminya.
Mengagumi kecerdasannya. Dia baik, ramah, dan satu tahun sekelas
dengannya itu cukup bisa mengenalnya dekat.
"Entahlah, Mbak. Aku tak tahu. Ah mungkin ini hanya kagum."
"Kagum? Bukankah selama ini kau sudah mengaguminya? Aku tahu dari
caramu bercerita, Dek. Begitu banyak kelebihan yang kau ceritakan
padaku. Dan itu menyiratkan kau menyukainya."
Ah Mbak, jika
benar, bukankah ini wajar? Tapi aku tak lantas menyimpulkan jika ini
benar-benar suka. Aku diam, mencari penjelasan tentang perasaan ini.
Dan semua itu terjawab ketika aku bertemu dengannya. Tanganku dingin,
gugup menyergap. Rasanya ingin lari dari pandangannya. Ray, apa kau
meraskan getar hatiku saat di perpustakaan waktu itu? Kau tersenyum
menyapa, lantas memberikan surat. Itu titipan surat untuk Mbak Husna.
Ya, sejak itu aku mengakuinya. Perasaan ini benar-benar ada. Tentang setangkup doa karena sebuah kagum dan suka.
Sejak itu pula aku mulai menghindar. Berkomunikasi saat ada kepentingan
saja, sering-sering menyampaikan salam dari Mbak Husna. Aku hanya mampu
menyapanya lewat doa. Merindukan dalam diam. Ah cinta... Aku tersipu
melihatmu.
Pertemanan kita juga semakin dekat. Ray, Mbak Husna
dan aku. Beberapa kali sempat berencana kopdar di dunia nyata, tapi
memang belum waktunya. Rencana tinggallah rencana, batal.
Dan
siapa sangka, setahun sejak aku mengenal Mbak Husna, pertemuan itu
benar-benar terjadi. Sebuah takdir yang telah Allah rencanakan dengan
sangat indah.
22 April 2014, sekolah kami mengadakan study tour
ke Bali. Awalnya aku tak punya niatan ikut. Untuk apa? Biayanya mahal,
belum juga sakunya. Tapi ketika tahu bahwa rombongan kita nanti akan
kunjungan ke salah satu universitas di Surabaya, harapanku untuk bertemu
dengan Mbak Husna menyala. Mungkin ini salah satu cara untuk bertemu
dengannya.
Sejak masuk kelas sepuluh, setiap siswa menabung untuk
agenda study tour. Syukurlah, kurangannya tinggal sedikit. Akhirnya aku
pun bisa mengikuti.
Ini pertemuan yang paling kurindukan.
Bagaimana tidak? Setahun kami kenal dekat, menyayangi satu sama lain.
Semua ini benar-benar indah.
Aku, kau dan dia. Kami bertemu di
dunia nyata. Ah, masih terasa hangat dalam ingatan. Pelukan itu, air
mataku, saltingnya Ray. Haha. Aku masih mengingatnya dengan baik. Dan
satu lagi, tentang cinta diam itu. Aku masih menyimpannya untuk
seseorang yang kunamai sahabat.
*5
(Mengagumimu dalam Diam)
Mungkin aku harus berterimakasih pada Mbak Husna. Pertanyaan itu menyadarkanku. Benar, aku mulai menyimpan rasa. Tapi apalah daya seorang wanita, yang begitu banyak kekurangan ada padanya. Aku hanya bisa diam, diam dan diam. Menikmati setiap rasa yang hadir menyapa. Gugup, malu, senang, luka, cemburu. Genap kurasakan saat menyukai seseorang dalam diam. Seseorang itu bernama Pras.
Lazimnya seorang pengagum maka ia akan mencari tahu apa saja yang dilakukan orang yang dikaguminya. Dan aku salah satunya. Haha, pastinya dengan cara diam-diam. Menjadi 'silent reader', mengamati seseorang itu dari jauh.
Kami satu sekolah di bangku SMA. Biarpun begitu, jarang sekali bisa bertemu, sangat jarang. Hey, jadi ingat pertemuan itu. Ada pertemuan di pagi hari yang rasanya sangat sulit kulupakan. Pertemuan yang... aduh gak nyangka pokoknya.
Jarak dari rumah ke sekolahku tidak jauh juga tidak dekat. Kami satu arah. Jarak yang tak begitu jauh ini membuatku naik sepeda 'onthel' ke sekolah. Tidak setiap hari sih, tapi lebih sering bersepeda. Pagi-pagi aku sudah cabut dari rumah. Selalu tepat pukul 6 pagi aku berangkat. Pras jarak rumahnya lebih jauh, dia selalu naik motor. Berangkatnya pun pagi-pagi. Tak jarang kami berpapasan di jalan. Aku bersepeda, dia naik motor. Pras hafal, ia selalu menyapaku. Berbeda dengan teman yang lain, mereka menyapa dengan membunyikan bel motor tanpa memalingkan wajah ke arahku. Pras tidak seperti itu. Ia selalu memanggil namaku, dan wajahnya menghadap padaku. Hihi.
"Ayo An..." Aku hafal itu.
Aku membalas dengan senyuman dan anggukan.
***
Pagi itu, Jum'at pertengahan bulan Mei tahun 2014. Aku ingat. Iyalah, aku mencatat di buku catatanku.
Kususuri jalan S. Soekawati dengan sepeda. Menikmati indahnya pagi yang masih sejuk. Jalanan masih lengang, matahari pun baru muncul. Tiba-tiba... Seseorang yang juga menaiki sepeda menyapaku.
"An..." Kalian tahu siapa? Haha, sungguh kaget. Rasa-rasanya gak mungkin jika itu dia.
Yaap, dia Pras. Lelaki yang kukagumi dalam diam. Allah...
Hatiku bergetar, mulai nervous gak jelas.
"Eh Pras, tumben naik sepeda." Kataku basa-basi. Lalu ia menjajariku, jarak ke sekolah masih 2 km. Duuh, senengnya. Tapi malu juga sih.
"Iya, pengen aja," jawabnya singkat.
"Naik sepeda terus ya sekarang?" Tanyaku penasaran. Kali aja tiap hari bisa barengan terus. Hhehe.
"Enggak, Senin pasti naik motor. Ya tergantung mood juga sih."
Ooh, aku mengangguk.
Dan sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Pras lah yang banyak bercerita. Bilang, dia naik sepeda terinspirasi dari bule Amerika yang mengajar Bahasa Inggris di kelasnya. Namanya Miss Okhee. Memang bersepeda itu lebih banyak manfaatnya. Bukankan di negara-negara maju malah banyak orang bersepeda? Nah itu.
Moment itu terjadi hanya satu kali. Sebelumnya memang sudah tahu kalau dia bersepeda ke sekolah, tapi tidak bertemu lagi di jalan. Hhe, tak apa.
Lalu, ada pertemua-pertemuan yang selalu menggetarkan hati. Ciieh. Pertemuan itu tanpa di sengaja. Ada pertemuan rutin, setiap hari Senin. Ketika upacara bendera. Bagi seorang pengagum rahasia, melihat punggungnya pun itu sudah lebih dari cukup, bukan? Nah, itu yang kurasa.
Kelas kami berbeda, barisan saat upacara pun dibagi perkelas. Biarpun begitu, aku selalu bisa melihatnya dari jauh. Tubuhnya tinggi tegap, tapi kurus. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Itu pun cukup, toh kalau keseringan bertemu dan ngobrol pasti lama-lama kagumnya luntur. Huuah.
Begitulah rasa suka, aku memupuknya dalam diam bersama doa. Tak pernah sedikit pun menyinggung perasaan saat ngobrol dengannya, walau sekedar bertanya "Apakah kau menyukai seseorang, Pras?" Mana berani?
Perasaan tetaplah perasaan. Nikmati saja yang hadir itu, tapi tetap pada batas koridor yang sudah ditetapkan agama. Lebih penting lagi, menjaga kehormatan itu wajib. Wajib bagi seorang lelaki maupun perempuan.
*6
(Cemburu 1)
Sebenarnya ini part yang tidak kusukai. Cukup dengan enam huruf, hatiku getir karenanya. Hiks. Namun, demi keutuhan sebuah cerita, aku akan tetap menuliskannya. Terserah kalian juga, mau menganggap itu fiksi atau fakta, toh yang tahu kebenarannya hanya aku dan Dia, bukan?
Aku mengaguminya dalam diam, itu dulu. Sekarang? Saat aku duduk di bangku SMA, perasaan itu sudah berubah. (mungkin) Aku menyukainya dalam diam. Aku malu bertemu dengannya, padahal dalam hati kecil ingin sekali bertemu. Ya, walau sekedar mendiskusikan pelajaran. Aku selalu tak bisa menatap matanya saat berbicara dengannya. Tak akan pernah bisa, jangan tanya apa penyebabnya. Pokoknya gak bisa. Titik
Siang itu, aku berselancar di dunia maya. Membuka dinding teman yang tak lain dan tak bukan milik Pras. Continue melihat kronologinya, barangkali ada yang baru. Huhu, tapi nihil. Dindingnya tetap sama seperti satu tahun yang lalu. Jarang sekali update status. Maklumlah, Pras terlalu sibuk dengan 'kekasihnya'.
Aku tak kehabisan ide, ke-kepoanku meningkat ditambah ke-isengan yang tidak biasa. Aku mencoba membuka dinding beberapa temannya di kelas.
Huaaa, hingga kutemukan sebuah foto. Entah apa maksudnya. Yang jelas, foto itu membuatku cemburu. Ah dasar labil!
"Mbak, coba deh lihat akunnya 'Nayla Nur Jannah'," aku mengirim pesan ke Mbak Husna.
"Ada apa emang? Oke, bentar," balesnya sejurus kemudian.
"Itu Pras, An? Yang cewek siapa?"
"Huaaa, entahlah. Aku gak tahu, Mbak." Bingung harus mengatakan apa pada Mbak Husna. Apa iya ini cemburu?
"Ciiie ada yang cemburu nih?" Ledek Mbak Husna.
"Tahu ah," jawabku cuek.
"Hhaha, jelek ah mukanya ditekuk gitu. Apa perlu ditanyain ke Pras?"
"Gak usahlah, Mbak. Sadar dirilah aku ini siapanya dia. Hanya teman kan? Mungkin itu cuma becanda fotonya. Ya, walau sedikit aneh. Masa iya tangan si cewek bentuk love terus ditujuin ke Pras. Pras duduk di bangku, 'mlongo' nglihatin tu cewek. Huh."
"Aih aih, yang cemburu. Yawis, tenangin dulu pikirannya. Toh hanya foto, mungkin mereka iseng. Positif thinking aja lah. Oke, mana senyumnya?" Mbak Husna mencoba menghibur. Betul juga apa yang ia katakan.
"Hiii, tapi Mbak, kalau beneran si cewek suka beneran ke Pras gimana? Mereka satu kelas lagi, gak menutup kemungkinan bakal cinlok beneran kan?"
"Aduuh, An An. Emang kenapa kalau si Nayla itu beneran suka sama Pras? Hak dia kan? Hahaha. Gini ya, kamu gak usah pikiran yang belum tentu terjadi. Fokus aja ke sekolah, perbaikan diri, dan masa depan. Yakin deh, kalau emang jodoh pasti menyatu. Ingat ya, yang baik akan bersama yang baik, yang buruk akan bersama yang buruk. Itu janji Allah, An. Kita harus percaya itu." Terang Mbak Husna panjang lebar. Aku merenungi kata-katanya. Benar, aku menyetujuinya. Seketika aku berfikir, apa perlu aku seperti itu? Cemburu? Ah apaan, itu tak perlu An An. Untuk apa? Santai sajalah.
Hei cemburu, enyahlah kau dari diriku. Jangan membelenggu, pergilah kau!
Belum saatnya aku merasakan itu. Jika ingat masa itu, aku malu. Huhu.