Enter Header Image Headline Here

Jumat, 11 Desember 2015

Berbeda

Kemarin aku telah melupakannya
Setidaknya untuk bebrapa saat aku lupa
Tak sengaja sebuah nama terbaca oleh netra
Memaksaku untuk menghentikan pada lembar itu
Tulisan dan nama itu...
Sempurna aku mengingatnya lagi
Tertulis sejak dua bulan lalu, tentang sebuah nama
Tetntang seseorang nan jauh di sana
Seketika kenang bersamanya hadir begitu saja
Entah sesak entah senang
Senyuman perih mengulum di bibir
Aku menyadari sebuah hal
Bahwa sekarang tak seindah dulu
Ada sekat yang membatasi
Dan waktu justru menebalkannya...

Kau tahu, bagiku ini tak adil?
Kenapa seseorang itu justru menjauh saat luka ini belum sembuh
Aku ingin marah, tapi entah pada siapa...


 11 Desember 2015

Sabtu, 05 Desember 2015

Terimakasih Tuan


Tuan, dulu aku hanya gadis kecilmu yang banyak tanya. Kau bahkan bilang 'Kau kalau bertanya pasti dari pangkal sampai ujung.' Aku cemberut, karena kau tak menjawab semua pertanyaanku. Ah mungkin jawaban itu belum perlu kuketahui ya. Tapi aku tetap ingin tahu, mendesakmu untuk menjawab.
Tuan, kau dulu selalu mendidikku dengan sendi-sendi agama yang baik. Aku sangat ingat, dulu ketika aku sepenuhnya belum paham tentang kewajiban seorang muslim, saat subuh selepas kau pulang dari surau, kau selalu membangunkanku. Selalu. 'Bangunlah Nak, pergi ke belakang dan tunaikan dua rokaatmu' Aku tak langsung bangun, bahkan kadang hanya bilang 'iya' tapi tidak bertindak. Tuan, aku malu mengingatnya.
Kau paham menjaga kami, menjauhkan kami dari api neraka. Maka dari itu, kau terus saja membangunkanku sampai aku benar-benar bangun dan berdiri. Ah Tuan...
Malamnya pula, setelah kau pulang dari surau, kau selalu rajin bertanya padaku 'Sudah sholat?' Dan aku lebih sering menjawab 'belum' Tuan, terimakasih selalu mengingatkanku waktu kecil dulu.
Aku dulu tumbuh menjadi gadis kecilmu yang kuat. Kau mendidikku dengan tidak pernah sekalipun memanjakanku. Mengajariku hidup yang sederhana dan cukup. Aku sadar, aku berbeda dengan gadis-gadis lain. Sekarang aku memahaminya, bahwa hidup harus kuat. Banyak sekali goda dan cobaannya, maka itu seseorang yang tumbuh karena selalu dimanja akan lemah menghadapinya. Tuan, terimakasih untuk dulu yang tak pernah memanjakanku.
Tuan, kau adalah cinta pertamaku. Suaramulah yang pertama kali kudengar, melantunkan nama-Nya. Aku bahagia menjadi bagian dari hidupmu. Aku bahagia memiliki imam sepertimu.
Tuan, terimakasih atas semua pengorbananmu selama ini.
Terimakasih telah menjagaku hingga aku tumbuh dewasa dan memahamkanku dengan pemahaman yang baik ini. Aku menitipkan salam rindu untukmu.
~Untuk Bapak, aku merindukanmu. Merindukan Ibuk juga....
Tanah, Rantau, 3 Desember 2015.
(Hari Raya idul Fitri, 2 tahun yang lalu)


Bulan lalu, Mbak yang moto, diam-diam saat Bapak sedang mengaji. Aku yang meminta, karena rindu Bapak. minta fotonya Ibuk juga, tapi kata Mbak, belum dapet gak ada moment yang pas ngmbil fotonya. hehe

  
Foto bersama untuk syarat daftar Bidikmisi.

Rabu, 25 November 2015

Rembulan...

Redup mengusik netra
Temaram malam menyapa jiwa
Bergerak sunyi, syahdu menggoda
Aih rembulan, rupamu sungguh memesona

Detak-detak rindu menggema
Siluet rupa datang dalam bayang
Berpesan rindu menyapa pula
Berharap jarak tersingkap hilang

Namun rembulan duduk anggun di sana
Tersenyum manis pada semua jiwa
Duh rembulan, sungguh kau buat ia cemburu
Ditambah resah karena rindu

Rembulan...
Mataku hina memandangmu
Suaraku lenyap memanggilmu
Kakiku kaku melangkah menujumu
Lama-lama (mungkin) aku tenggelam karenamu...
Rembulan...
Rantauan, 25/11/15

Jumat, 11 September 2015

Sajak Rindu

Rindu Untuk Mereka

Ketika jarak terbentang di antara kita..
Jiwa terpaut jauhnya jeda yang menghela
Rindu merambati dinding hati
Menyuguhkan selayang pandang wajah tua
Memeluknya dalam bayang
Memanggilnya dalam doa...

Ketika mata hanya mampu melihat saat terpejam...
Banyu bening menjadi saksi kuatnya rasa yang menyelimuti
Merenungi rindu yang menggelut, di ujung sudut ruang gelap
Lalu, membiarkan ia jatuh, membebaskannya bersama rasa

Aku merindukan mereka, teramat rindu.
Merindukan suasana rumah yang sederhana
Kebersamaan yang mendekap syahdu
Sedikit pun tak apa, namun cukup menentramkan kebersamaan itu

Celoteh dua mujahid yang menggemaskan,
Omelan kakak yang sering kuhiraukan,
Nasihat Ibu Bapak yang masuk telinga kanan, keluar telinga kiri...
Ah... semua baru terasa ketika barjauhan seperti ini.


Pak, Bu... Apa kabar? sehat?
Maafkan anakmu ini yang terlalu banyak menyusahkan
Bersabarah, tak perlu kutulis di sini janji-janji hati itu
Doakan aku selalu, Pak Bu...
Pun juga denganku, doa untuk Bapak dan Ibu selalu terpanjat di awal dan akhir doa...
Semoga kebahagiaan, keberkahan dan kesehatan selalu membersamai Bapak Ibu...(Aamiin)



__Salam dari anakmu, di Tanah Rantau
Jember, 11 September 2015

Rabu, 15 Juli 2015

Dewa Penolong

Serasa semua itu mimpi, ya mimpi! Aku tak pernah menyangka bertemu dengannya yang kukenal di dunia maya. Aaah, aku merasa aneh dengan pertemua ini. Benar-benar seperti mimpi, sulit dipercaya. Bukankah ini sudah berlalu?

Surabaya, aku memilih kota itu untuk mengikuti test SBMPTN. Padahal univ yang kudaftari bukan di Surabaya. Ya, aku ingin bertemu dengan seseorang untuk kedua kalinya. Dia adalah Mbak Husna. Namun, sedikit pun tak terbesit bertemu dengan seseorang yang lain. Seseorang yang kukenal juga di dunia maya. Namanya, Mas Rizal. Perkenalan kami lucu, aku tersenyum jika mengingatnya. Haha.

Jika saja test-nya di UNESA, mungkin aku tak pernah bertemu dengannya. Sri, teman seperjuanganku test di ITS, sedang aku di STIKOM. Bersyukur jarak keduanya tidak terlalu jauh.
Kenyataan ini membuat kami putar haluan, semua yang kami rencanakan dari tempat menginap, waktu keberangkat, dan lainnya berubah. Jujur, ini membuatku tak nafsu makan. Hiks.

Syukurlah, Mas Rizal tinggal di sekitaran ITS. Sebenarnya malu meminta bantuan padanya, tapi tidak. Malu ini harus kubuang jauh-jauh, demi kelancaran kami nanti.

Aku menyampaikan maksud untuk meminta bantuan agar dia mencarikan kost yang dibayar perhari. Dan dia pun menyanggupinya.

Beberapa hari kemudian Mas Rizal mengabariku.

"Nan, saya sudah dapat tempat kost-nya. Sehari 100ribu, bagaimana?"

Duh, 100 ribu? Jika dua malam berarti 200 ribu. Jujur bagi kami ini kemahalan.

"Mas, apa yang dibawahnya lagi tidak ada?" Aku memberanikan diri bertanya.

"Belum tahu, Nan. Coba nanti saya cari lagi ya."

"Mas, maaf merepotkan."

"Tidak, Nan. Santai saja."

Rasanya sudah tidak nyaman, dia bukan siapa-siapaku. Lalu, esoknya dia mengabariku lagi.

"Nan, yang kemarin coba saya tawar. Bisa 75 ribu, bagaimana? Itu saja atau cari lagi?"

Aku tidak mau merepotkannya lagi, ya sudah bismillah, ini saja.

"Itu saja, Mas. Terimakasih ya sudah membantu. Oya, alamat dan nomer hp-nya Bapak kost tolong dikirim ya."

Lalu ia mengirimnya lewat inbox di facebook. Ya iyalah, obrolan kami ini juga di facebook. Haha

Aku tak pernah membayangkan bisa bertemu dengannya, secara perteman kami di dunia maya itu sudah tidak sedekat dulu. Ia sibuk dengan urusannya. Kupikir nanti, setelah kami sampai di Surabaya, kami akan mencari tempat kostnya sendiri. Lagipula, dia sepertinya tak ada niatan untuk menemuiku. Ternyata... Allah punya rencana yang indah.

H-1 keberangkatan kami ke Surabaya, aku memastikannya lagi pada Mas Rizal. Karena keberangkatan kami ini dimajukan.

"Mas, kalau tidak ada perubahan besok kami berangkat. Berarti tanggal 7 dan 8 kami menginap di kost, bisa kan dimajukan? Oya, sepertinya minggu sore kami baru sampai dan pulang selasa sore, apa masih dihitung 2x bayar?"

"Sepertinya bisa Nan. Nah, yang itu saya kurang tahu. Kemarin Bapak kostnya bilang bayarnya perhari. Kalau minggu sore datang, senin sore masuk 1 hari. Coba nanti saya tanyakan, ba'da dzuhur kepastiannya. Biasanya saya bertemu dengan beliau saat jama'ah di masjid."

"Oh begitu. Yayaya, saya tunggu kabar selanjutnya Mas. Terimakasih."

Sampai saat ini pun, keadaannya masih sama. Jujur, dalam hati penasaran dengan orangnya, tapi kurasa tidak mungkin bisa bertemu. Aku pun tak berani bilang padanya.

Sore, sekitaran jam 3 ada pesan dari Mas Rizal.

"Kata Bapak kostnya masih dihitung 2x bayar, Nan. Ohya Nan, tadi biar enak ngobrol dengan beliau, biaya kostnya sudah saya bayar."

Hah? Sudah dibayar? Ooh tidak! Itu artinya kami harus bertemu? Menggantikan uangnya. Haduh Mas, kenapa gak bilang dulu.

"Oh, emangnya harus dibayar dulu ya Mas?" Aku mencari alasan kenapa dia melakukan itu.

"Ya tidak harus sih. Tadi biar enak saja ngobrol sama beliau. Toh, mau dibayar sekarang ataupun besok sama saja."

Ya berbeda lah Mas. Aduh, apa iya kami harus bertemu? Hah, rasanya nano-nano sampek gak bisa tidur. Huaaah.

"Oh begitu. Iya besok saya ganti, terimakasih Mas."

"Iya, besok sekalian saya antar ke tempat kostnya. Takutnya nanti bingung."

Nah loh, malah dianter segala. Jauh di luar dugaanku. Allah punya rencana lain.
Lalu, kenapa dulu aku bertanya detail tentang tempat kost, tempat test dan lainnya pada Mas Rizal, jika ternyata dia menemuiku, bahkan mengantarkanku juga?
Malam serasa siang, mataku tak mau terpejam. Dalam angan hanya terbayang pertemuan kami nanti. Huaaa, aku malu, gugup, tidak menyangka dengan semua ini.

Besok, iya besok! Aku akan bertemu dengan Mas Rizal, seseorang yang bagiku misterius. Aneh! Oh Allah, kumohon lancarkanlah hariku esok.
Pukul 01:30 AM aku baru bisa tidur, padahal pagi jam 6 harus berangkat ke terminal. 



****



Matahari sempurna terlihat di ufuk timur. Pagi ini cerah, secerah hatiku. Menyambut pertemuan yang sebelumnya memang kurindukan. Meski ini kedua kalinya, tapi tetap saja tidak bisa lepas saat bercakap dengannya. Aku (mungkin) memang pemalu. Hihi, padahal Mbak Husna juga perempuan. Katanya 'nanti kalau ketemu hilangin dredegnya ya, santai aja. Jangan takut, kayak lihat penampakkan aja.' Hhe. Tapi tetap saja, aku masih malu-malu bercakap dengannya.

Molor sedikit dari perjanjian awal. Pukul setengah 7 aku baru berangkat menuju terminal, hanya 5 menit naik motor sudah sampai. Aku berlima dengan teman seperjuangan. Aku, Sri, Riza, Maulana dan Kamal naik bus yang sama.

Lima jam perjalanan menuju Surabaya, itupun jika tidak macet. Pukul tujuh tepat bus mulai melaju pelan. Membelah jalan antar kota, sawah, rumah-rumah penduduk, pasar tradisional dan beberapa kali berhenti di terminal antar kota. Menaik dan menurunkan penumpang, beberapa kali pula bus berhenti menaikkan penumpang di pinggir jalan.

Kabar buruknya, bus baru sampai Madiun perutku terasa mual. Tidak menunggu waktu lama, kresek hitam akhirnya terisi muntahan. Hiks. Kulihat ke samping, Sri tidak jauh beda.

"Muntahin saja kalau mual, biar entheng." Kataku.
Dia menggeleng, sepertinya masih kuat.
Aku memilih menyandarkan kepala di kursi depanku. Kupejamkan mata, lalu tertidur.

***

Tepat saat adzan Dzuhur bus kami sampai di Terminal Bungurasih. Lalu naik bus Damri untuk menuju Terminal Joyoboyo.

Mengharukan? Tidak!
Menangis? Tidak!

Tersenyum dan bersalaman saat bertemu Mbak Husna. Kenapa tidak memeluk? Entahlah...

Singkat cerita saja, dari Terminal Joyoboyo ini rombonganku dengan Riza berpisah. Mbak Husna mengantar aku dan Sri ke ITS. Riza, Maulana dan Kamal menuju UIN Sunan Ampel.

Tiga puluh menit menuju ITS, lalu oper angkot menuju Pasar Keputih. Mbak Husna tidak bisa mengantar sampai kost. Hari mulai sore, bisa-bisa tidak ada angkot untuk pulang. Hanya mengantar sampai ITS dan berpisah di Gupura Desa Gebang. Kami naik angkot jurusan Pasar Keputih dan Mbak Husna kembali menuju Terminal Joyoboyo.

Beberapa menit kemudian, setelah sampai di Pasar Keputih, aku mengirim pesan ke Mas Rizal.

"Mas, ini sudah sampai Pasar. Tepat di depan gang III. Sampean di mana?"

"Iya, ini lagi jalan ke sana."

Lelah yang kami rasakan, rasanya ingin segera tiba di kost lalu membaringkan tubuh. Lumayan lama berdiri, akhirnya mencari tempat duduk.

"Sri, tidak adakah orang jalan dari sana?" Aku menunjuk ke arah timur.

"Tidak, Nan." Jawabnya singkat.

"Lama juga yo, hihi." Sri hanya tersenyum.

"Nan, saya sudah sampai Pasar. Kalian di mana?" Pesan dari Mas Rizal. Tidak kubalas. Huaaah, siap-siap berdiri dan menghampirinya. Dia duduk di sana.

Aku canggung, tersenyum tanggung. Mulai bingung. Sri berjalan di belakangku.
Kami sudah berdiri di depan Mas Rizal. Tidak menyalaminya. Bukan karena apa-apa, tapi sepertinya Mas Rizal juga paham.

"Oke, langsung saja. Mari saya antar ke kost." Suara Mas Rizal memecah suasana. Sambil tangannya menunjuk ke arah barat. Lalu ia berjalan, kami mengikuti di belakangnya. Langkah kami lambat, hoho. Maklum saja, capek. Dan beberapa kali Mas Rizal melihat ke samping, memastikan kami tidak tertinggal jauh.

Tidak jauh menuju kost, hanya beberapa menit berjalan kaki. Hingga sampailah kami di depan kost.

"Sebentar, tunggu di sini saja. Saya ke rumah Bapak kostnya."

Aku dan Sri mengangguk hampir bersamaan.

Tidak lama kemudian.
"Bapak kostnya masih di masjid. Kita tunggu saja."

Aku berdiri, diam. Sri duduk di bawah. Mas Rizal berdiri di samping kiriku.

"Temannya, Nan?"
Aku mengangguk, "Iya."

"Namanya?"
Sri menjawab, "Sri."
"Oh, saya Rizal."

Lalu untuk mencairkan suasana, Mas Rizal beberapa kali bertanya. Aku menjawab seadanya. Malu itu jelas, bahkan saat berkata tak berani melihat lawan bicara. Aku pun memberanikan diri bertanya, mungkin itu pertanyaan yang tidak penting, karena seingetku di facebook pernah kutanyakan. Hahaha.

Lama juga menunggu Bapak kostnya. Ada lah lima belas menit. Beberapa saat juga kami saling diam, aku menunduk.

Bagaimana keadaanku? Hah, entahlah. Campur-campur, gugup, malu, gak PD, ah entahlah.

Akhirnya yang dinanti pun tiba, Bapak kost. Kami menyalaminya, mengobrol sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Kamar kami ada di lantai dua. Kukira setelah sampai di kost ini, Mas Rizal langsung pulang. Ternyata tidak, ia ikut membantu. Duh, baiknya. :-D

Setelah semua selesai, aku dan Sri diminta mengisi biodata. Lalu mengobrol lagi, tentang test, jurusan, univ, dan lainnya.

Dan perkataan Bapak kost yang terakhir ini membuatku bingung.

"Ya sudah, nanti tolong ya Mas Rizal, ajak mereka lihat-lihat jalan ke depan. Barangkali mau cari makan atau apa. Oya, besok juga antar mereka tinjau tempat testnya ya."


(Masih bersambung, gak tahu kapan bisa lanjut lagi..) panjang ceritanya...

Gadis dalam Penantian (2)

*4
(Aku, Kau dan Dia)
Malam mulai merangkak menuju peristirahatan. Bintang gemintang kerlap-kerlip menghiasi angkasa malam. Menyisakan pemandangan yang indah. Baru pukul setengah sembilan. Seperti biasa, aku menunggu ia pulang kerja. Setidaknya, setelah ia sampai rumah dan jika tidak lelah, ia akan menemaniku SMS-an. Bertukar cerita, aku yang sering bercerita. Ia mendengarkan, tak jarang juga memberi saran. Dia pendengar yang baik, aku senang bercerita padanya.
Entah bagaimana semua ini terjadi. Malam itu, saat aku ngobrol dengan Ray lewat pesan singkat. Aku mengenalkannya pada Ray. Bilang ada seseorang yang baik hati, lembut tutur kata, dan semua tentang kebaikannya. Aku menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri.
"Waah, seneng banget pasti. Akun facebooknya apa? Boleh dong aku add."
Aku menyebutkan nama akunnya. Setelah itu mungkin mereka berkenalan di facebook. Hey, kau tahu Ray? Sampai sekarang aku tak tahu alasannya, kenapa dia kukenalkan padamu. Kagum itu belum kusadari.
Waktu berjalan, pertemanan kita semakin dekat. Persis seperti saudara kandung yang terpisah jauh. Kala itu semua masih baik-baik saja.
Aku mengenalkannya pada Ray sebelum Ramadhan. Karena saat puasa, ada sebuah bingkisan yang harus kuantar ke rumah Ray. Ah Ray, dia terlalu baik, bukan?
***
"Apa kau menyukainya, Dek?"
Deg! Pertanyaan itu cepat sekali. Bahkan orang lain lah yang sebenarnya tahu apa yang kurasa.
'Aku tak tahu.' Hatiku membatin. Bagaimana bisa? Apa aku benar-benar mulai menyukainya? Ya, kuakui, selama ini aku memang mengaguminya. Mengagumi kecerdasannya. Dia baik, ramah, dan satu tahun sekelas dengannya itu cukup bisa mengenalnya dekat.
"Entahlah, Mbak. Aku tak tahu. Ah mungkin ini hanya kagum."
"Kagum? Bukankah selama ini kau sudah mengaguminya? Aku tahu dari caramu bercerita, Dek. Begitu banyak kelebihan yang kau ceritakan padaku. Dan itu menyiratkan kau menyukainya."
Ah Mbak, jika benar, bukankah ini wajar? Tapi aku tak lantas menyimpulkan jika ini benar-benar suka. Aku diam, mencari penjelasan tentang perasaan ini.
Dan semua itu terjawab ketika aku bertemu dengannya. Tanganku dingin, gugup menyergap. Rasanya ingin lari dari pandangannya. Ray, apa kau meraskan getar hatiku saat di perpustakaan waktu itu? Kau tersenyum menyapa, lantas memberikan surat. Itu titipan surat untuk Mbak Husna.
Ya, sejak itu aku mengakuinya. Perasaan ini benar-benar ada. Tentang setangkup doa karena sebuah kagum dan suka.
Sejak itu pula aku mulai menghindar. Berkomunikasi saat ada kepentingan saja, sering-sering menyampaikan salam dari Mbak Husna. Aku hanya mampu menyapanya lewat doa. Merindukan dalam diam. Ah cinta... Aku tersipu melihatmu.
Pertemanan kita juga semakin dekat. Ray, Mbak Husna dan aku. Beberapa kali sempat berencana kopdar di dunia nyata, tapi memang belum waktunya. Rencana tinggallah rencana, batal.
Dan siapa sangka, setahun sejak aku mengenal Mbak Husna, pertemuan itu benar-benar terjadi. Sebuah takdir yang telah Allah rencanakan dengan sangat indah.
22 April 2014, sekolah kami mengadakan study tour ke Bali. Awalnya aku tak punya niatan ikut. Untuk apa? Biayanya mahal, belum juga sakunya. Tapi ketika tahu bahwa rombongan kita nanti akan kunjungan ke salah satu universitas di Surabaya, harapanku untuk bertemu dengan Mbak Husna menyala. Mungkin ini salah satu cara untuk bertemu dengannya.
Sejak masuk kelas sepuluh, setiap siswa menabung untuk agenda study tour. Syukurlah, kurangannya tinggal sedikit. Akhirnya aku pun bisa mengikuti.
Ini pertemuan yang paling kurindukan. Bagaimana tidak? Setahun kami kenal dekat, menyayangi satu sama lain. Semua ini benar-benar indah.

Aku, kau dan dia. Kami bertemu di dunia nyata. Ah, masih terasa hangat dalam ingatan. Pelukan itu, air mataku, saltingnya Ray. Haha. Aku masih mengingatnya dengan baik. Dan satu lagi, tentang cinta diam itu. Aku masih menyimpannya untuk seseorang yang kunamai sahabat.


*5
(Mengagumimu dalam Diam)
Mungkin aku harus berterimakasih pada Mbak Husna. Pertanyaan itu menyadarkanku. Benar, aku mulai menyimpan rasa. Tapi apalah daya seorang wanita, yang begitu banyak kekurangan ada padanya. Aku hanya bisa diam, diam dan diam. Menikmati setiap rasa yang hadir menyapa. Gugup, malu, senang, luka, cemburu. Genap kurasakan saat menyukai seseorang dalam diam. Seseorang itu bernama Pras.
Lazimnya seorang pengagum maka ia akan mencari tahu apa saja yang dilakukan orang yang dikaguminya. Dan aku salah satunya. Haha, pastinya dengan cara diam-diam. Menjadi 'silent reader', mengamati seseorang itu dari jauh.
Kami satu sekolah di bangku SMA. Biarpun begitu, jarang sekali bisa bertemu, sangat jarang. Hey, jadi ingat pertemuan itu. Ada pertemuan di pagi hari yang rasanya sangat sulit kulupakan. Pertemuan yang... aduh gak nyangka pokoknya.
Jarak dari rumah ke sekolahku tidak jauh juga tidak dekat. Kami satu arah. Jarak yang tak begitu jauh ini membuatku naik sepeda 'onthel' ke sekolah. Tidak setiap hari sih, tapi lebih sering bersepeda. Pagi-pagi aku sudah cabut dari rumah. Selalu tepat pukul 6 pagi aku berangkat. Pras jarak rumahnya lebih jauh, dia selalu naik motor. Berangkatnya pun pagi-pagi. Tak jarang kami berpapasan di jalan. Aku bersepeda, dia naik motor. Pras hafal, ia selalu menyapaku. Berbeda dengan teman yang lain, mereka menyapa dengan membunyikan bel motor tanpa memalingkan wajah ke arahku. Pras tidak seperti itu. Ia selalu memanggil namaku, dan wajahnya menghadap padaku. Hihi.
"Ayo An..." Aku hafal itu.
Aku membalas dengan senyuman dan anggukan.


***

Pagi itu, Jum'at pertengahan bulan Mei tahun 2014. Aku ingat. Iyalah, aku mencatat di buku catatanku.
Kususuri jalan S. Soekawati dengan sepeda. Menikmati indahnya pagi yang masih sejuk. Jalanan masih lengang, matahari pun baru muncul. Tiba-tiba... Seseorang yang juga menaiki sepeda menyapaku.
"An..." Kalian tahu siapa? Haha, sungguh kaget. Rasa-rasanya gak mungkin jika itu dia.
Yaap, dia Pras. Lelaki yang kukagumi dalam diam. Allah...
Hatiku bergetar, mulai nervous gak jelas.
"Eh Pras, tumben naik sepeda." Kataku basa-basi. Lalu ia menjajariku, jarak ke sekolah masih 2 km. Duuh, senengnya. Tapi malu juga sih.
"Iya, pengen aja," jawabnya singkat.
"Naik sepeda terus ya sekarang?" Tanyaku penasaran. Kali aja tiap hari bisa barengan terus. Hhehe.
"Enggak, Senin pasti naik motor. Ya tergantung mood juga sih."
Ooh, aku mengangguk.
Dan sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Pras lah yang banyak bercerita. Bilang, dia naik sepeda terinspirasi dari bule Amerika yang mengajar Bahasa Inggris di kelasnya. Namanya Miss Okhee. Memang bersepeda itu lebih banyak manfaatnya. Bukankan di negara-negara maju malah banyak orang bersepeda? Nah itu.
Moment itu terjadi hanya satu kali. Sebelumnya memang sudah tahu kalau dia bersepeda ke sekolah, tapi tidak bertemu lagi di jalan. Hhe, tak apa.
Lalu, ada pertemua-pertemuan yang selalu menggetarkan hati. Ciieh. Pertemuan itu tanpa di sengaja. Ada pertemuan rutin, setiap hari Senin. Ketika upacara bendera. Bagi seorang pengagum rahasia, melihat punggungnya pun itu sudah lebih dari cukup, bukan? Nah, itu yang kurasa.
Kelas kami berbeda, barisan saat upacara pun dibagi perkelas. Biarpun begitu, aku selalu bisa melihatnya dari jauh. Tubuhnya tinggi tegap, tapi kurus. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Itu pun cukup, toh kalau keseringan bertemu dan ngobrol pasti lama-lama kagumnya luntur. Huuah.
Begitulah rasa suka, aku memupuknya dalam diam bersama doa. Tak pernah sedikit pun menyinggung perasaan saat ngobrol dengannya, walau sekedar bertanya "Apakah kau menyukai seseorang, Pras?" Mana berani?

Perasaan tetaplah perasaan. Nikmati saja yang hadir itu, tapi tetap pada batas koridor yang sudah ditetapkan agama. Lebih penting lagi, menjaga kehormatan itu wajib. Wajib bagi seorang lelaki maupun perempuan.



*6
(Cemburu 1)
Sebenarnya ini part yang tidak kusukai. Cukup dengan enam huruf, hatiku getir karenanya. Hiks. Namun, demi keutuhan sebuah cerita, aku akan tetap menuliskannya. Terserah kalian juga, mau menganggap itu fiksi atau fakta, toh yang tahu kebenarannya hanya aku dan Dia, bukan?
Aku mengaguminya dalam diam, itu dulu. Sekarang? Saat aku duduk di bangku SMA, perasaan itu sudah berubah. (mungkin) Aku menyukainya dalam diam. Aku malu bertemu dengannya, padahal dalam hati kecil ingin sekali bertemu. Ya, walau sekedar mendiskusikan pelajaran. Aku selalu tak bisa menatap matanya saat berbicara dengannya. Tak akan pernah bisa, jangan tanya apa penyebabnya. Pokoknya gak bisa. Titik
Siang itu, aku berselancar di dunia maya. Membuka dinding teman yang tak lain dan tak bukan milik Pras. Continue melihat kronologinya, barangkali ada yang baru. Huhu, tapi nihil. Dindingnya tetap sama seperti satu tahun yang lalu. Jarang sekali update status. Maklumlah, Pras terlalu sibuk dengan 'kekasihnya'.
Aku tak kehabisan ide, ke-kepoanku meningkat ditambah ke-isengan yang tidak biasa. Aku mencoba membuka dinding beberapa temannya di kelas.
Huaaa, hingga kutemukan sebuah foto. Entah apa maksudnya. Yang jelas, foto itu membuatku cemburu. Ah dasar labil!
"Mbak, coba deh lihat akunnya 'Nayla Nur Jannah'," aku mengirim pesan ke Mbak Husna.
"Ada apa emang? Oke, bentar," balesnya sejurus kemudian.
"Itu Pras, An? Yang cewek siapa?"
"Huaaa, entahlah. Aku gak tahu, Mbak." Bingung harus mengatakan apa pada Mbak Husna. Apa iya ini cemburu?
"Ciiie ada yang cemburu nih?" Ledek Mbak Husna.
"Tahu ah," jawabku cuek.
"Hhaha, jelek ah mukanya ditekuk gitu. Apa perlu ditanyain ke Pras?"
"Gak usahlah, Mbak. Sadar dirilah aku ini siapanya dia. Hanya teman kan? Mungkin itu cuma becanda fotonya. Ya, walau sedikit aneh. Masa iya tangan si cewek bentuk love terus ditujuin ke Pras. Pras duduk di bangku, 'mlongo' nglihatin tu cewek. Huh."
"Aih aih, yang cemburu. Yawis, tenangin dulu pikirannya. Toh hanya foto, mungkin mereka iseng. Positif thinking aja lah. Oke, mana senyumnya?" Mbak Husna mencoba menghibur. Betul juga apa yang ia katakan.
"Hiii, tapi Mbak, kalau beneran si cewek suka beneran ke Pras gimana? Mereka satu kelas lagi, gak menutup kemungkinan bakal cinlok beneran kan?"
"Aduuh, An An. Emang kenapa kalau si Nayla itu beneran suka sama Pras? Hak dia kan? Hahaha. Gini ya, kamu gak usah pikiran yang belum tentu terjadi. Fokus aja ke sekolah, perbaikan diri, dan masa depan. Yakin deh, kalau emang jodoh pasti menyatu. Ingat ya, yang baik akan bersama yang baik, yang buruk akan bersama yang buruk. Itu janji Allah, An. Kita harus percaya itu." Terang Mbak Husna panjang lebar. Aku merenungi kata-katanya. Benar, aku menyetujuinya. Seketika aku berfikir, apa perlu aku seperti itu? Cemburu? Ah apaan, itu tak perlu An An. Untuk apa? Santai sajalah.
Hei cemburu, enyahlah kau dari diriku. Jangan membelenggu, pergilah kau!

Belum saatnya aku merasakan itu. Jika ingat masa itu, aku malu. Huhu.

Gadis dalam Penantian (1)

Sebuah yang terisnpirasi dari kisah nyata, namun belum berending. Hanaya Allah yang tahu endingnya kelak. saya beri judul
"Gadis Dalam Penantiannya"

*1
(Buku Catatan Itu)
Aku mengenalnya sejak empat tahun lalu di bangku SMP. Beruntung, di tahun terakhir bisa sekelas dengannya. Dia cerdas, tercerdas di sekolah kami. Mungkin, jika sejak kelas 1 kami sekelas, kagum ini sudah lahir lebih lama.
"Ini buku catatannya siapa Rin?" Tanyaku pada teman sebangku.
"Anak paling pinter di kelas sebelah." Jawabnya singkat padat jelas.
Siapa? Batinku bertanya.
Tulisannya rinci indah, rapi, setengah latin tapi bukan latin. Mulai itulah aku mengenalnya. Ya walau mengenal dari tulisan tangannya.
Kubuka lembar paling depan, mencari nama pemilik buku ini. Dan tertulislah di sana;
Nama: Reza Eka Prasetya
Kelas: VIII A
Sekolah: SMPN 1 Ponorogo
Ooh, aku manggut-manggut dalam hati. Tapi beneran, keren banget tulisan tangannya. Duh jadi malu, aku yang perempuan aja kalah. Jauh beda malah. Menulis adalah pekerjaan yang tidak kusukai. Bagiku melelahkan. Menulis di sini dalam artian tulisan tangan, bukan menulis cerita ataupun puisi. Kalau itu sih hobi terpendamku. Ckck.
Bahkan saat di bangku SMA, ada beberapa temanku yang dengan jelas mengatakan tulisan tanganku jelek. Yah, mau gimana lagi, emang kenyataannya gitu.
"An, tulisanmu itu agak rapi dikit lah. Cewek tulisannya kayak 'cekeran' ayam gitu."
Duh dikatain gitu aku gak marah sih, nylekit sih iya, tapi emang kenyataannya gitu.
"Haha, tulisanku emang gini. Terserah orang lain bisa baca atau gak, yang penting aku bisa." Jawabku enteng, seenteng kapas terbang tertiup angin. Cieeeh.
Dan di bangku SMA pula kebiasaan burukku tumbuh. Aku malas mencatat. Ssst... Ini aib. Wkwk
Ya, aku tidak suka mencatat. Aku lebih suka mendengarkan penjelasan guru, lalu setelah guru menyuruh menyalin tulisan di whiteboard, aku malah mengerjakan soal yang ada di buku. Hihi, mencatat itu melelahkan.
Kalaupun aku mencatat itu hasil tulisannya ya ala kadarnya. Selama aku masih bisa membacanya, ya seperti itu tulisan tanganku.


*2
(Lelaki Jenius)
Sebatas pujian yang terlontar dalam hati, tentang tulisan tangannya yang indah. Tentang pemilik buku catatan itu? Entahlah, aku belum mengenalnya langsung. Jarang sekali saat istirahat melihat dia keluar kelas. Yah, maklumlah anak pinter. Kerjaannya pasti pacaran mulu sama buku. Ckck.
"An, temenin aku ke sanggar pramuka yuk?" Ajak seorang teman padaku. Di sekolah aku termasuk anak yang pendiam. Gak ikut-ikut organisasi seperti OSIS, ataupun pramuka. Imbasnya sekarang sedikit susah bersosialisasi dengan orang baru. Hhi.
"Iya ayo." Jawabku singkat.
Setibanya di sanggar, kulihat anak laki-laki duduk di atas tumpukan tongkat. Tangannya membawa buku yang terbuka, dan ia sedang membacanya.
Waw, kembali pujian itu terlontar lagi untuknya. Hanya dalam batin. Siapa lagi kalau bukan Reza. Reza ... Reza, kau memang cerdas kawan.
Bukan novel bukan pula komik, melainkan buku pelajaran. Buku SKI(Sejarah Kebudayaan Islam) yang ia baca. Saat teman-temannya sedang bercanda, ngobrol sana sini, atau mungkin ada yang sedang jajan di kantin, ia malah tepekur belajar. Membaca buku pelajar. Dua jempol untukmu Ray, eh Reza.
Saat itupun kami belum saling mengenal, aku hanya melihatnya dari gawang pintu sanggar. Tidak ada perasaan aneh, hanya pujian yang tersemat dalam dada.

***

Tahun ajaran baru datang. Tahun ini kurikulum sekolah berubah. Biasanya setiap tahun tidak ada perubahan kelas, kali ini ada. Yang dulunya, anak yang memiliki nilai akademis bagus dibagi di setiap kelasnya, tetapi tahun ini dihimpun dalam satu kelas. Tidak menyangka, aku masuk di dalamnya. Alhamdulillah. Semakin merasa kerdil saja berada di antara anak-anak yang lebih pandai. Huhu.
Dan dari kelas baru itulah aku bisa mengenalnya langsung. Ya, aku satu kelas dengannya. Dengan anak yang paling pintar di sekolahku. Hmm, senangnya..


*3
(Kelas NaClorida)
Kelas baru, teman baru. Otomatis aku harus berbaur dengan orang-orang baru. Tidak gampang untukku, aku tidak mudah dekat dengan orang baru.
Ini program baru di sekolah kami, guru menamai kelas kami dengan sebutan kelas unggulan. Keluaran perdana dengan fasilitas apa adanya. Sama dengan kelas regular lainnya, yang membendakan guru-guru pengajarnya.
Jumlah siswanya 20 anak, 5 dari anak laki-laki dan 15 anak perempuan. Ganjil. Dan akulah yang awal-awalnya tidak punya teman sebangku. Hiks, menyedihkan. Tapi seminggu kemudian ada teman (sekarang menjadi sahabat) yang menjadi teman sebangkuku. Namanya Nurma.

Proses mengajar begitu sepi, maklumlah semua siswa tampangnya tampang serius, pemikir. Haha. Bahkan ada guru yang berkomentar tentang kelas kami, katanya kelas A ini seperti kuburan. Sepi, anak-anaknya kaku.
Awal-awal memang begitu, tapi lama-kelamaan juga sering guyonan. Mereka asyik. Dan kutemukan teman yang lucu, namanya Fitri. Dia pintar berbahasa inggris, aktif di dalam pramuka, pintar bercerita. Dan akulah salah satu pendengar setianya.
Pernah Fitri ini bercerita tentang Reza. Diam-diam sih Fitri juga mengagumi kepandaian Reza.
"Kau tahu An? Kemarin saat kemah di Buper Telaga Sarangan, ada kejadian yang sulit kulupakan," katanya dengan antusias dan wajah yang sumringah.
"Iya kah? Apa Fit?" Jawabku sekenanya. Aku fokus melihat teman yang main basket di lapangan.
"Aku sama Reza,"
Reza? Aku membatin
"Gini ceritanya, kan sore-sore hujan tuh. Reza nglihat aku lagi kehujanan. Datanglah ia membawa payung, lalu memayungiku. Kita berjalan bersama dalam satu payung. So sweet kan? Dan kau tahu? Salah satu tangannya menggandeng pundakku, An. Aduuh, gak nyangka kan kamu?"
What? Iyakah? Reza berani seperti ini? Suer, hampir gak percaya denger cerita Fitri kali ini.
"Hallah, masa sih Reza berani kayak gitu? Gak percaya aku Fit."
"Loh beneran An. Diem-diem dia romantis juga lho, padahal di kelas serius banget tu anak."
Entahlah, itu nyata atau hanya karangan Fitri saja. Sampai sekarang pun masih menjadi tanda tanya.
Lepas dari itu, di kelas kami pun sering berdiskusi bersama. Reza lah yang menjadi rujukan pertama dan utama. Dia masternya mapel eksax, Hihi.
Aku lebih banyak menyimak ketika Reza menjelaskan cara mengerjakan soal. Lagi-lagi, dalam satu diskusi bertemu dengan Fitri. Ya iyalah, kami kan sekelas. Kadang aku menyimak juga guyonan antara Reza dan Fitri. Fitri anaknya asyik, pintar buat orang lain tertawa.
Ya begitulah. Kedekatanku dengan Reza mulai terbangun dari kelas NaClorida. Ternyata setelah kenal langsung dengan Reza, tak seperti yang ada di pikiranku dulu. Dia juga suka guyon, anaknya supel, ramah, tidak pelit ngajarin temannya. Memang sih kalau belum mengenalnya pasti mengira Reza ini kaku, seriusan, tapi tidak. Dia akan dekat dengan orang yang sudah dikenalnya.
Kenapa namanya kelas NaClorida?




 
***Bersambung...

Selasa, 14 Juli 2015

Kabut di Pagi Hari

Pagi bagiku selalu menyuguhkan pesona yang indah. Embun baru saja meretas dari pucuk daun, dengan senang hati berganti posisi dengan matahari, lalu jatuh mencium tanah. Saat burung terbang dan berkicau, mencari secuil makan untuk anak-anaknya. Saat ayam-ayam menceker tanah basah, mencari makan untuk mengisi perut. Saat matahari kembali bertugas, menyinari alam semesta. Tanpa kenal lelah, tunduk mengikuti titah-Nya. Dan saat aku harus menjalani aktivitasku sebagai mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di kampus tercinta, Universitas Negeri Malang. Semua terasa indah karena aku selalu memanjatkan syukur atas nikmat-Nya. Hidup berjauhan dengan orang tua itu tak mudah. Aku harus mandiri, namun kutemukan keluarga kedua di sini. Di pondok pesantren Sabilur Rosyad.


Pagi-pagi aku sudah siap berangkat ke kampus bersama si Biru, sepeda sekaligus sahabat yang menemaniku berkeliling kota Malang. Masih terlalu pagi memang, tapi justru aku suka itu. Setiap hari aku berangkat pukul 7, masih terlalu pagi bukan? Ya, tapi ini kesukaanku. Menjelajahi setiap sudut jalan saat udara masih segar, ditemani embun pagi yang belum enggan pergi. Pukul 7 suasana jalan cukup sepi, karena anak-anak sekolah memadati jalan sekitar pukul setengah 7 sampai jam 7 kurang sedikit. Ya meskipun kadang masih kutemui satu dua pelajar yang menyusuri jalan dengan motornya.

Sepuluh menit perjalanan menuju kampus. Setiba di kampus, kuparkir si Biru di depan Fakultas Bahasa. Kampus nampak sepi, jalan-jalan mengelilingi kompleks kampus itu jadi pilihanku. Tujuanku adalah ke taman kecil dekat tempat parkir motor. Aku ingin menunggu teman-teman di sana, sembari menyelesaikan tugas dari dosen yang belum selesai.
Taman kecil di kampusku cukup indah, banyak bunga-bunga di sana. Rumput-rumputnya rapi, sepertinya baru saja dipangkas oleh petugas kebun. Suasananya asri, pohon-pohon menjuntai tinggi ke langit. Rindang. Daun-daun bergoyang ria tertiup angin pagi. Ada beberapa kursi di sana, aku memilih duduk di kursi bagian pinggir. Selain teduh, tempatnya juga cukup terang, tidak tertutup pohon. Nah, siap berduaan dengan tugas.


Beberapa menit kemudian, mahasiswa mulai berdatangan. Kulirik jam yang melingkar di tangan kiriku, jam menunjukkan pukul 8 kurang. Hmm, pantas saja. Ada juga yang duduk mengisi kekosongan kursi taman. Ada yang sendiri, ada juga yang bersama temannya. Masih fokus pada tugas, sejenak kulayangkan pandangan pada mereka yang duduk di kursi taman, aku menangkap dua orang, sepertinya aku tidak asing dengan postur tubuhnya. Seorang lelaki dan seorang lagi perempuan.
Lelaki itu tinggi tegap, potongan rambutnya aku juga kenal. Hey, dia pakai kaca mata, mungkinkah dia? Dan satunya lagi, perempuan yang samar. Postur tubuhnya tidak berbeda jauh denganku, kecil. Semoga tebakanku tidak salah.
Kuamati gerak-gerik mereka, melihat pemandangan itu konsentrasiku buyar. Jelas ini lebih menarik perhatianku.

Ray, itu kah kau? Sedang ngapain jam segini berduaan dengan Tata? Kalian kan beda jurusan. Wajar jika satu jurusan, mungkin sedang mendiskusikan tugas. La ini? Ooh Shazia, tenangkan dirimu. Tenang!

Mataku tak mau berkedip mengamati mereka. Angin yang berhembus di pagi hari membuat mataku perih. Bukan karena debu masuk kedalamnya, tapi ... Ah entahlah. Pemandangan ini sungguh tak mengenakkan hati. Sebelumnya aku sudah terbiasa melihat Ray jalan berdua dengan teman wanitanya. Entah itu spesial untuk Ray atau hanya teman biasa, aku tak tahu.

Aku masih diam terpaku melihat mereka. Asyik sekali sepertinya, Tata yang terlihat sumringah menjelaskan sesuatu pada Ray. Lama mulutnya berkomat-kamit mengucapkan sesuatu. Ray hanya mengangguk paham, sesekali tersenyum. Aku bisa melihatnya dari sisi kanan di belakang mereka.
Hey jemari Tata itu kenapa? Merapikan rambut Ray? Atau merusaknya? Bukan, itu seakan menyisir dengan jemari untuk merapikan rambutnya Ray yang tertiup angin. Bagian poninya juga di rapikan ke pinggir dengan telunjuk Tata. Tata itu siapanya Ray sih? Mentang-mentang anak dosen, hah seenaknya aja. Jujur aku cemburu. Cemburu karena cinta dalam diam, salahkah?


Allah... Sesak sekali melihatnya. Pandangan mataku kabur karena bendungan bening di sana. Duh, aku menangis? Jangan Shazia, jangan!
Mencoba beberapa kali menarik nafas agar detak jantungku normal, agar hatiku tidak memanas. Tapi percuma, jatuh juga akhirnya. Ini menyakitkan, perih sekali ya Allah. Melihat langsung dengan kepala mataku sendiri. Dan untuk pertama kali aku menangis karena... Karena cinta kepada seseorang. Aah parah Shazia!
Kekaguman yang kupendam selama ini, kini kutemukan duri itu. Duri yang mampu membuat air mataku jatuh.
Aku tidak tahan melihat mereka seperti itu. Kuputuskan untuk pergi, melewati kursinya dengan menunduk tanpa menyapa.
Duh, kabut pagi ini telah sempurna menjelma embun di pelataran pipiku.

Ray, salahkan kekaguman mendalamku ini untukmu? Aku akan menyimpan rapat-rapat, entah sampai kapan. Aku akan menjaga cinta yang bersemayam dalam hati.


*Ponorogo, 30 Mei 2015
Terinspirasi dari kisah nyata

Surat Mati

Surat Mati


Aku akan mengirimkan sebait sajak hambar.
Tanpa rasa, namun itulah sejujur-jujurnya yang kurasa.
Kemana?

Surat itu untukmu, namun kau tak pernah membacanya.
Menerimanya pun tidak.
Yaa, biarlah malaikat saja yang membaca.
Karena bagiku, setidaknya itu cukup meminimalisir rindu yang tertumpuk. Obat rindu yang tertahan.

Semua tentangmu, tentangku. Yang kutulis menjadi tentang kita. Maaf.

Lantas kemana kukirim surat itu?
E-mail. Aku tahu e-mailmu sudah tak kaugunakan lagi. Katamu, kau lupa kata sandinya.
Ke sanalah kukirim segala rasa yang menghampiri.
Karena mungkin inilah cara teraman menyampaikan gejolak rindu.

Tak masalah, kau diam dengan pertahananmu. Sebab, seperti itu pula yang kulakukan.
Baik-baik menjaga hati ya, Mas.
Siapa pun nanti yang akan menjadi makmummu, aku akan tersenyum melihatnya.


Dariku: yang mengagumimu dalam diam

Penantian Seorang Lelaki

Lelaki itu menatap langit penuh khidmat. Matanya menyipit saat sinar matahari menabrak wajah tirus lonjongnya. Sesaat kemudian ia berdiri dari kursi panjang di taman kota. Berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di tempat parkir. Sosok lelaki yang tinggi tegap namun tubuhnya lumayan kurus. Kulitnya coklat matang seperti warna sawo. Raut muka yang serius, tipikal orang yang berfikir keras membuat lelaki itu terlihat lebih tua dari umur sebenarnya. Lengkap dengan kacamata yang terpakai, seperti bapak-bapak yang telah mempunyai anak.

Taman nampak sepi, sudah satu jam lebih lelaki itu duduk di kursi taman. Menunggu seseorang yang telah berjanji akan bertemu di sini. Tapi nihil, yang ditunggu tak kunjung datang. Mungkin, jika bukan orang yang penting baginya, ia tak mau menunggu selama itu.

Lima langkah lagi ia sampai di depan pintu mobil, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia membalikkan badan ke arah belakang, menatap lamat-lamat ke arah kursi panjang di taman itu. Beberapa detik melesat cepat, perlahan kakinya melangkah. Memutuskan untuk kembali duduk di kursi taman. Kembali menunggu orang penting baginya, yang tak lain adalah calon ibu dari anak-anaknya. Jika tidak terhalang suatu hal, akad itu akan terlaksana. Segera.


***

Sedangkan di tempat yang lain, seorang perempuan duduk menunduk. Wajahnya tertutup hijab, namun di bagian bawah, hijab itu basah. Ya, gadis itu sedang menangis. Bukan tanpa sebab, pastinya ada hal yang membuatnya menitikan air mata. Bibirnya membisu, tak mampu berucap. Hanya hati yang bergumam lirih;

"Jangan menungguku, Mas. Aku tak akan pernah datang ke sana. Ada yang lebih pantas bersanding denganmu daripada aku. Ada banyak perempuan yang mengejarmu, aku mundur Mas. Aku banyak kekurangan, sedangkan kau banyak kelebihan. Aku tak pantas untukmu."

Masalah dua hati yang belum jelas perkaranya, membuat kedua insan itu merasa tersakiti. Duh, semoga masih bisa dipertahankan.


#END

Bait-bait Cinta Nayyara



Aku malu-malu menatapmu. Ini pertemuan yang pertama sejak perpisahan lima tahun silam. Kau masih seperti dulu, Kak. Senyum simpulmu begitu meneduhkan, walau kenyataannya aku setengah mati menahan degub ini.
Keringat dingin mengucur di sekujur tubuh, termasuk di telapak tanganku. Ini tidak akan terjadi jika aku tidak berada pada keadaan yang menegangkan. Dag dig dug jantungku terpompa.

Kak, kau tahu? Rasa itu masih sama. Masih terjaga. Justru lebih mendebarkan dari lima tahun yang lalu.
Aku selalu begini, saat berada dekat denganmu otomatis mulutku terkunci. Lebih baik diam daripada bertanya, barang hanya basa-basi.
Ah Kak, baru kusadari menulis pertanyaan di pesan jauh lebih mudah ketimbang bertanya langsung padamu.

Kuberikan ruang untukmu untuk menyapa, jika pun kau tak berani. Mungkin kau sedang menyiapkannya, atau kau juga sama sepertiku. Entahlah..

"Yara?" Kau mulai membuka percakapan.
"Ya Kak?" jawabku singkat.
"Bagaimana kuliahmu?" Aih peduli juga padaku, Kak. Senang.
"Lancar Kak, alhamdulillah. Skripsi Kakak bagaimana?"
"Hampir finis. Doakan ya semoga segera sidang, dan wisuda." Kau menatap lembayung senja di ujung pandang.
"Aamiin, ya Kak. Selalu."

Siapa yang mengira dengan pertemuan ini. Pertemuan yang amat kurindukan. Ternyata Allah mengabulkan doaku, saat harap mulai mati membeku.
Kak, apakah kau juga menantikan pertemuan ini? Sepintas aku menangkap desir dari tatapanmu. Iyakah?

Kak sedikit pun aku tak berani mengucapkan sayang. Itu bukan kuasaku. Jika pun itu terucap, maka aku telah menodai cinta ini, Kak. Bagaimana denganmu Kak? Aku tak mau berasumsi yang tidak-tidak, atau bahkan di luar logika. Ya, jika pun kau memiliki rasa yang sama, kau tak akan mengatakan cinta sendirian. Kau pasti datang menemui Bapak bersama keluargamu. Aku kenal lama denganmu, meski tak sedekat dulu. Dan kau sosok pemberani, pantang menyerah.

Kak, apakah hatimu telah dimiliki yang lain?

"Setelah wisuda, lanjut S2 kah atau kerja Kak?" Aku membuyarkan keheningan.
"Kerja Ra, jika ada rizki ingin melanjutkan."
Duh, Kakak yang masih sangat haus ilmu. Hatiku mengucap kagum.

"Tidak kah ingin membangun sesuatu untuk bekal bahagia dunia akhirat?"

Ssst, apa yang kutanyakan tadi. Ya Rabb, terlalu lancang kah?

"Menikah maksud Yara?" Aku diam sejenak. Lalu mengangguk pelan.

"Haha, jika sudah saatnya itu pasti Ra. Biarlah saat ini, Kakak fokus dengan kebahagiaan keluarga."

Sempurna, hatiku meleleh mendengar jawabannya. Dia begitu menyayangi keluarga, bahkan melupakan tentang hatinya. Ah bukan melupakan. Lebih tepatnya membiarkan dulu.

Duh Kak, beruntung sekali wanita yang mendampingimu nanti.

Dan senja kala itu, membuat kuncup rindu sempurna mekar di hati dua sejoli. Raihan dan Nayyara.

***

22/04/2019

"Saya terima nikahnya Nayyara Adzkia binti Abdul Hadi dengan maskawin tersebut dibayar tunai."

Satu tetes jatuh di pangkuanku. Beribu-ribu kali mengucap syukur dalam hati. Aku memeluk Teteh dengan segenap bahagia. Allah, terimakasih.

Lalu Teteh menuntunku menuju ruang utama. Duduk bersanding dengan lelaki yang telah sah menjadi imamku, Kak Raihan. Dengan takzim, aku mencium tangannya.

Allah, sungguh bahagianya aku. Kak, akulah wanita yang beruntung itu. Terimakasih atas semuanya.

***

Tawa riang balita di pangkuanku membuat hatiku bahagia. Teramat bahagia. Film singkat yang kembali terputar dalam kenangan itu membuat aku tak bosan mengulangnya. Ya, balita itu mujahidku bersama Kak Raihan, umurnya 15 bulan. Lincah-lincahnya berjalan. Celotehnya juga sangat menghibur kami. Namanya, Muhammad Farhan Abdillah.

Allah, jaga keluarga kami. Satukan kami dalam Jannah-Mu. Sungguh tiada yang paling berharga kecuali keluarga kecilku ini.

Kak Raihan, terimakasih telah menjadikanku Bidadari dalam kerajaan cintamu. Tuntun aku menuju Bidadari surgamu.

Farhan, terimakasih telah membuat Umi dan Abi bahagia karena kehadiranmu. Tumbuhlah dengan cerdas seperti Abimu, dan miliki akhlaq karimah yang menghiasi Jiwamu. Nang, bahagialah bersama Abi dan Umi hingga nanti, Jannah menanti kita.

*Ponorogo, 16/05/2015


*fiksi

Sabtu, 20 Juni 2015

TAMU TERAKHIR

*Tamu Terakhir


Tak diundang, tapi pasti datang
Entah terjadinya kapan, tak bisa dipastikan
Kita, aku, kamu, mereka dan semua akan menerima tamu terakhir itu
Pastikan kita harus siap, maka siapkan semua dari sekarang.

Kawan, tahu kah tamu terakhir itu?
 Yaaap, betul.

 Maut alias mati
 Salah satu orang ciri yang beruntung ialah ia yang mengingat kematian kapan dan dimana pun.
 Maut pasti datang, memutus kenikmatan dunia.
Menuju kenikmatan yang indah, bagi mereka yang beriman di dunia. Atau menuju siksa pembalasan bagi mereka yang ingkar pada-Nya.

 20/06/2015

Senin, 06 April 2015

Genap 19 Tahun Usiamu

Ranah waktu bergulir menuju semilir
Ombak hidup siap menerjang hingga ke hilir 
Naluri hati terus berkata maju tanpa getir 
Inilah saatnya kau raih impian akhir 

Elakkan semua badai penghalang
Kuatkan raga dan hati untuk menang
Allah bersamamu, jangan menyerah Kawan

Padukan dunia jua imanmu yang kaffah
Ranum buahnya berkibar indah
Andai rizqi datang padamu, janganlah serakah
Sisakan yang pantas untuk sedekah
Emban tangguh jawab penuh ikhlas
Taati orang tua junjung derajatnya
Itulah abdi untuk menuai ridho-Nya
Allah ridho, jika mereka ridho padamu
Wahai Kawan, usiamu bertambah sejatinya waktumu berkurang
Arahkan usaha pada kebahagiaan
Namun jangan lupa akan hidup di keabadian


*Selamat ulang tahun, barokallah fi umrik. Semoga menjadi insan kamil, sukses dunia akhirat, dan bisa mengangkat derajat orang tua. Tambah sholih tambah baik segalanya. Aamiin. 



Dariku, Pengagum Rahasiamu
Ponorogo, 06 April 2015

Jumat, 03 April 2015

RINDU DIATAS SALJU


Tepat puku 23.00 jam beker di kamarku berbunyi, bertubrukan dengan mp3 yang kuputar sejak tadi. Lantas kuraih benda kecil itu di atas meja belajar. Dan klik! Mati.


Entah sudah berapa kali 'Lembayung Bali' milik Saras Dewi menggema di ruang berukuran 4x3 ini. Sengaja memang setting repeat ku'of'kan, agar lagu ini yang terus berputar.

Jua, entah sudah berapa banyak air mataku menetes. Setelah sholat isya' tadi, air mata ini masih belum mau berhenti.
Duh Gusti, Seperti inikah rindu pada ukhuwah itu?

Aku bersujud, meluapkan semua keluh kesahku pada-Nya. Semakin lama, malah ia mengalir semakin deras. ALLAH, rintih hatiku.


Bersamaan dengan bulir air mata yang jatuh, kenangan itupun kembali menyeruak dalam benakku. Ya Rabb? Pedih sekali rasanya. Andai boleh meminta, mungkin akan lebih baik, jika aku dulu tak pernah mengenalnya.

Namun takdir Allah jauh lebih baik, meski terkadang tidak sedikit manusia menganggapnya buruk dan menyedihkan.

Tidak! Aku tidak menyesali perkenalan itu. Justru aku merasa sangat beruntung telah mengenalnya. Meskipun keadaan sekarang tak seindah awal perkenalan dulu.

Aku bahagia mengenalnya, bersyukur. Dia yang sedikit banyak merubah kehidupanku. Melalu dialah Allah mencurahkan hidayah-Nya padaku.
Ya, walau ukhuwah itu terjalin di atas jarak yang jauh. Aku ingin mengatakan ini padanya 'Ana Uhibbu fillah'

Terkadang diri ini merasa aneh dan asing merasakan kasih sayang itu. Ah, salahkah?


Harus bagaimana meluruhkan rindu itu, jika kenyataannya tak seindah dulu?
Terkadang memang mulut ini enggan berucap rindu, namun akankah hati bisa kubohongi? Aku rasa tidak.

Akalku mengatakan benci, kecewa, marah tetapi apakah hatiku mengatakan itu pula? TIDAK!
Sayang itu tetap ada. Tetap tumbuh, disini.

Aku lelah, setiap kali merindu yang ada bukan respon yang membahagiakan. Malah sebaliknya.
Aku tak menyalahkannya. Sangat maklum jika keadaanlah yang merubah semua itu.

Seperti merindu di oase salju. Dingin!.
Membuat diriku menggigil menahan dinginnya. Tak ada sesuatu yang memeluk hatiku kala rindu ini memuncak.

Aku tau, bukan aku saja yang merindu. Kaupun jua sama sepertiku.
Mungkin seperti inilah merindu dalam oase salju.
Yang dirindu ternyata menyuguhkan tangis yang tiada henti.

Kini akhirnya, jika memang tak ada celah lagi untuk seperti dulu, mungkin menjauh bisa mengikis rasa yang 'berlebih' ini...


INI YANG TERAKHIR!!!

Rindu dan Kesederhanaan dalam Penantian

Membayangkanmu saja itu sudah cukup mengobati gemuruh rindu dihatiku.
Ingin rasanya menyapamu dengan tenang, namun aku tak mampu.
Inginku menatap matamu tapi gelisah yang kurasa.
Mulutku enggan membuka saat kau ada didekatku.
Melihat sinar tatapan yang menentramkan nan bijak, itu jauh aku tak sanggup melakukannya.
Aku takut..
Teramat takut jika kau tau rasa ini. Sedangkan sedari dulu aku telah membingkainya rapat-rapat bersama rinduku.
Terlalu bodoh mungkin, berhari-hari bahkan berbulan-bulan kau terus menjamah fikiranku, hingga tak ada yang ku gelisahkan selain rasa ini untukmu.
Aku hanya ingin kesederhanaan dalam mengagumimu. Ya
mengagumimu dalam diam tanpa bertindak. Dalam bisu tanpa kuberkata. Hingga waktu yang mampu membongkar rahasia hatiku.

Aku tak butuh penampilan yang sempurna agar kau memilihku.
Aku juga tak akan berdandan atau bermake up tebal agar kau juga mencintaiku.
Aku hanya memiliki sepotong hati yang tulus mencintaimu, apa adanya tanpa berharap lebih darimu, biarkan Tuhanku yang memberi balasan atas apa yang kulakukan. Kuyakin semua kan Indah pada Waktunya.
Dan penantianku ini akan berbuah manis walaupun sekarang pahit yang kurasa.


Ponorogo, 22:33, 14-10-13

Kenang dalam Rerintik Hujan

Dingin menyergap kalbu
Kala rintik runtuh memburu
Menyentuh dinding gubuk yang rubuh
Duh, rindu datang menggebu.

Sekelebat rupa menyapa
Membawa kenang suka nan duka
Menuju peraduan penuh luka
Namun jua menitip segudang bahagia

Hei rintik, datangkan cerita yang indah
Bawa diriku bebas tanpa resah
Merasakan sejuknya air langit yang menggairah
Membeku bersama kenang yang tak berkesudah

Hujan selalu menyimpan kenang
Aku dan kau dalam senang
Menyambut pelangi tersenyum riang
Abadi selamanya tanpa batas pandang

Rerintik jatuh pada bumi tandus
Tersenyumlah penduduk bumi yang haus
Menghilangkan dahaga rindunya
Yang menggunung saat kemarau menyapa

Kala rintik menyurut tipis
Perlahan menyentuh pelipis
Rasa rindu semakin mengemis
Apalagi kenang semakin tak habis-habis

Aduhai, bersama tetesnya yang turun
Kenang itu menguap di ubun-ubun
Pun rindu semakin nyata
rupanya
Menyapu segala rasa dalam dada

Hujan ...
Bulirmu hadirkan tentram
Karenamu mampu kusapa dirinya
Lewat doa-doa yang menjulang ke langit
Tak habis terpanjat meski
rintikmu telah usai

Akan kukatakan padamu
Hujan selalu membantu
menemukanmu
Dalam beningnya yang mengalun
Saat mereka tak menyadarinya
Aku bahagia
Meski adamu tak sepanjang masa
Meski ingatanmu tak selalu tertuju padaku
Namun kenang akan terekam selamanya
Karena ada kenang dalam rintik hujan.


PONOROGO, 06 Januari 2015

Tentang Nikmat-Nya


Fabiayyi alaai Robbikuma Tukadziban?
Pagi-Nya datang mengetuk jiwa yang mati
Dingin berselimut kabut putih pasi
Panggilan-Nya terdengar seantero negeri
Tapi siapa saja yang bangun pagi?
Apakah kita lupa perintah-Nya?


 
Tetes embun basahi tanah merah
Rupa insan bangun merekah
Menghirup udara tanpa biaya
Sepuasnya tanpa bersusah payah
Lalu, nikmat Tuhan mana yang akan kau dustakan?

Terik matahari hiasa langit yang memanas
Sinari bumi yang luas
Tiada lelah memutari bumi
Mengarungi langit yang tiada henti
Lalu, tidakkah kau berfikir bagaimana ia dijalankan?

Seyogyanya manusia wajib panjatkan syukur
Bukan melebur menjadi kufur
Pula, mengabdi pada Pemberi
Yang selalu tercurah nikmat yang tak terperi
Lalu, nikmat Tuhan mana yang akan kau dustakan?


Hai jiwa-jiwa yang beriman
Bersyukurlah pada setiap pemberian-Nya
Jangan kufur jangan lupa syukur
Semua itu akan kau pertanggung jawabkan, kelak di kehidupan abadimu.

Ia menjauh dari rindu yang tak pernah pulang. Pergi, melepaskan

Popular Posts