Enter Header Image Headline Here

Selasa, 21 Februari 2017

Kesan


Namanya Kesan, lelaki bermata sipit yang kukenal 3 tahun lalu. Tubuhnya tinggi kurus dengan rambut terpotong rapi ukuran 321. Bertemu singkat di Perpustakaan Kota. Sipitnya bukan karena dia keturunan orang China, itu karena dia suka sekali membaca. Entah, meski seseorang suka membaca kurasa itu tidak menjadi pemicu mutlak matanya ber-minus. Hemm kecuali cara membaca dan penerangan yang tidak sesuai.
Berawal dari satu huruf berakhir pada satu kata. (Semoga)
Semenjak kami saling tahu bahwa kami sama-sama suka menulis dan membaca, kedekatan itu terjalin. Awalnya hanya sebatas teman, iya teman sharing tentang kepenulisan. Kesan rajanya essay, dia sudah banyak sekali memenangkan lomba kepenulisan. Sedangakan aku sebaliknya, aku lebih suka menulis tentang diksi-diksi roman, puisi, cerpen pokoknya yang berbau tulisan fiktif. Kurasa itu menjadi pelengkap dari pertemanan ini.
"Suatu saat aku akan datang ke rumahmu, Arum."
"Untuk?"
"Entah, tunggu saja," Ia tertawa di akhir kalimat. Kalimat yang menggantung.
"Aku tak akan menunggumu, Kesan." Membalasku, ikut tertawa.
Aku tidak menolak atau pun mengiyakan, toh Kesan tidak punya alamat rumahku. Lagi pula kami tinggal di kota yang berbeda, terpaut waktu tempuh 5 jam. Cukup jauh. Jadi kurasa itu hanya candaannya saja. 'Ia tak akan pernah datang' hatiku membatin berat.
Ada masa dimana aku tak pernah kontak lagi dengannya, Kesan menghilang seperti tertelan langit. Ada rasa rindu, tapi aku memilih menjadi perindu yang diam, mengungkapkannya lewat kekata yang mungkin tak ia baca. Sebenarnay tidak ada salahnya aku menanyakan kabar padanya, tetapi selalu kuurungkan. Maka berjalanlah waktu sesuai alurnya. Aku menjalani hariku, dan Kesan dengan kesibukannya disana, entah apa itu.
Dugaanku salah. Setelah satu tahun tak ada kabar, tak pernah menghubungi, tak pernah menyapa sekalipun di dunia maya, Kesan benar-benar datang ke rumah. Senang bukan main, dia menepati janjinya. Tapi sebentar, dia datang sendiri? Ini tidak sesuai harapanku saat ia pertama kali bilang akan datang ke rumah.
"Kesan?" Kulitnya tak seputih saat pertama kali bertatap dengannya dulu. Kaca matanya tak terpasang lagi.
"Iya, Arum. Aku menepati janjiku." Suaranya berat, ada keganjilan di balik matanya yang sipit.
"Masuk dan duduklah, akan kubuatkan kopi untukmu."
"Tidak Arum, aku hanya sebentar." Aku diam, benar ada yang ganjil darinya. Dia bukan Kesan yang kukenal dulu.
"Ini, aku hanya menyerahkan ini."
Jleb!
Jika aku sekarang sedang membawa setampan minuman lengkap dengan cangkirnya, seketika melihat kertas yang Kesan berikan mungkin akan luruh semuanya. Jatuh pecah, sepecah hati yang kujaga selama ini. 'Kesan'.... Aku bergeming dalam kehampaan.
"Waah, selamat ya. Kau tak pernah mengabariku, tiba-tiba datang dengan kabar yang membahagiakan." Aku memaksa bibirku tersenyum. Tetes air mata rasanya tak bisa kubendung lagi, ingin berteriak sekencang mungkin.
"Maafkan aku, aku selama ini sedang berusaha untuk seseorang yang kudamba." Aku menerima undangan yang Kesan serahkan padaku dengan tangan gemetar. Enggan membaca nama yang tertera disana, itu sama halnya menusukkan paku di ulu hati. Sakit Ibu.
"Datang ya, Arum..."
"InsyaAllah."
"Kakakku pasti bertambah senang melihatmu saat pernikahannya nanti." Dia tersenyum.
Hey Kesan. Apa katamu? 'Kakakku'?
"Kakakmu yang menikah?"
"Iya, baca dulu undangannya. Haha, kau selalu terburu-buru menyimpulkan sesuatu."
Aku membuka undangan itu, tertulis nama yang pernah kudengar; Hisan dan Rumi.
"Maafkan aku membuatmu menunggu, Arum."
Aku menunduk, diam berpikir dengan seribu terka yang berserak di hati dan pikiran. Kesan masih sama seperti dulu, Kesan yang jahil. Tapi kejahilannya ini amat ganjil.. Entahlah... Aku masih tetap menunggu, Kesan.
Berawal dari satu huruf berakhir pada satu kata. (Semoga bahagia)

0 komentar:

Posting Komentar

Ia menjauh dari rindu yang tak pernah pulang. Pergi, melepaskan

Popular Posts