Dewa Penolong
Serasa semua itu mimpi, ya mimpi! Aku tak pernah menyangka bertemu
dengannya yang kukenal di dunia maya. Aaah, aku merasa aneh dengan
pertemua ini. Benar-benar seperti mimpi, sulit dipercaya. Bukankah ini
sudah berlalu?
Surabaya, aku memilih kota itu untuk mengikuti test SBMPTN. Padahal univ yang kudaftari bukan di Surabaya. Ya, aku ingin bertemu dengan seseorang untuk kedua kalinya. Dia adalah Mbak Husna. Namun, sedikit pun tak terbesit bertemu dengan seseorang yang lain. Seseorang yang kukenal juga di dunia maya. Namanya, Mas Rizal. Perkenalan kami lucu, aku tersenyum jika mengingatnya. Haha.
Jika saja test-nya di UNESA, mungkin aku tak pernah bertemu dengannya. Sri, teman seperjuanganku test di ITS, sedang aku di STIKOM. Bersyukur jarak keduanya tidak terlalu jauh.
Kenyataan ini membuat kami putar haluan, semua yang kami rencanakan dari tempat menginap, waktu keberangkat, dan lainnya berubah. Jujur, ini membuatku tak nafsu makan. Hiks.
Syukurlah, Mas Rizal tinggal di sekitaran ITS. Sebenarnya malu meminta bantuan padanya, tapi tidak. Malu ini harus kubuang jauh-jauh, demi kelancaran kami nanti.
Aku menyampaikan maksud untuk meminta bantuan agar dia mencarikan kost yang dibayar perhari. Dan dia pun menyanggupinya.
Beberapa hari kemudian Mas Rizal mengabariku.
"Nan, saya sudah dapat tempat kost-nya. Sehari 100ribu, bagaimana?"
Duh, 100 ribu? Jika dua malam berarti 200 ribu. Jujur bagi kami ini kemahalan.
"Mas, apa yang dibawahnya lagi tidak ada?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Belum tahu, Nan. Coba nanti saya cari lagi ya."
"Mas, maaf merepotkan."
"Tidak, Nan. Santai saja."
Rasanya sudah tidak nyaman, dia bukan siapa-siapaku. Lalu, esoknya dia mengabariku lagi.
"Nan, yang kemarin coba saya tawar. Bisa 75 ribu, bagaimana? Itu saja atau cari lagi?"
Aku tidak mau merepotkannya lagi, ya sudah bismillah, ini saja.
"Itu saja, Mas. Terimakasih ya sudah membantu. Oya, alamat dan nomer hp-nya Bapak kost tolong dikirim ya."
Lalu ia mengirimnya lewat inbox di facebook. Ya iyalah, obrolan kami ini juga di facebook. Haha
Aku tak pernah membayangkan bisa bertemu dengannya, secara perteman kami di dunia maya itu sudah tidak sedekat dulu. Ia sibuk dengan urusannya. Kupikir nanti, setelah kami sampai di Surabaya, kami akan mencari tempat kostnya sendiri. Lagipula, dia sepertinya tak ada niatan untuk menemuiku. Ternyata... Allah punya rencana yang indah.
H-1 keberangkatan kami ke Surabaya, aku memastikannya lagi pada Mas Rizal. Karena keberangkatan kami ini dimajukan.
"Mas, kalau tidak ada perubahan besok kami berangkat. Berarti tanggal 7 dan 8 kami menginap di kost, bisa kan dimajukan? Oya, sepertinya minggu sore kami baru sampai dan pulang selasa sore, apa masih dihitung 2x bayar?"
"Sepertinya bisa Nan. Nah, yang itu saya kurang tahu. Kemarin Bapak kostnya bilang bayarnya perhari. Kalau minggu sore datang, senin sore masuk 1 hari. Coba nanti saya tanyakan, ba'da dzuhur kepastiannya. Biasanya saya bertemu dengan beliau saat jama'ah di masjid."
"Oh begitu. Yayaya, saya tunggu kabar selanjutnya Mas. Terimakasih."
Sampai saat ini pun, keadaannya masih sama. Jujur, dalam hati penasaran dengan orangnya, tapi kurasa tidak mungkin bisa bertemu. Aku pun tak berani bilang padanya.
Sore, sekitaran jam 3 ada pesan dari Mas Rizal.
"Kata Bapak kostnya masih dihitung 2x bayar, Nan. Ohya Nan, tadi biar enak ngobrol dengan beliau, biaya kostnya sudah saya bayar."
Hah? Sudah dibayar? Ooh tidak! Itu artinya kami harus bertemu? Menggantikan uangnya. Haduh Mas, kenapa gak bilang dulu.
"Oh, emangnya harus dibayar dulu ya Mas?" Aku mencari alasan kenapa dia melakukan itu.
"Ya tidak harus sih. Tadi biar enak saja ngobrol sama beliau. Toh, mau dibayar sekarang ataupun besok sama saja."
Ya berbeda lah Mas. Aduh, apa iya kami harus bertemu? Hah, rasanya nano-nano sampek gak bisa tidur. Huaaah.
"Oh begitu. Iya besok saya ganti, terimakasih Mas."
"Iya, besok sekalian saya antar ke tempat kostnya. Takutnya nanti bingung."
Nah loh, malah dianter segala. Jauh di luar dugaanku. Allah punya rencana lain.
Lalu, kenapa dulu aku bertanya detail tentang tempat kost, tempat test dan lainnya pada Mas Rizal, jika ternyata dia menemuiku, bahkan mengantarkanku juga?
Malam serasa siang, mataku tak mau terpejam. Dalam angan hanya terbayang pertemuan kami nanti. Huaaa, aku malu, gugup, tidak menyangka dengan semua ini.
Besok, iya besok! Aku akan bertemu dengan Mas Rizal, seseorang yang bagiku misterius. Aneh! Oh Allah, kumohon lancarkanlah hariku esok.
Pukul 01:30 AM aku baru bisa tidur, padahal pagi jam 6 harus berangkat ke terminal.
****
Matahari sempurna terlihat di ufuk timur. Pagi ini cerah, secerah hatiku. Menyambut pertemuan yang sebelumnya memang kurindukan. Meski ini kedua kalinya, tapi tetap saja tidak bisa lepas saat bercakap dengannya. Aku (mungkin) memang pemalu. Hihi, padahal Mbak Husna juga perempuan. Katanya 'nanti kalau ketemu hilangin dredegnya ya, santai aja. Jangan takut, kayak lihat penampakkan aja.' Hhe. Tapi tetap saja, aku masih malu-malu bercakap dengannya.
Molor sedikit dari perjanjian awal. Pukul setengah 7 aku baru berangkat menuju terminal, hanya 5 menit naik motor sudah sampai. Aku berlima dengan teman seperjuangan. Aku, Sri, Riza, Maulana dan Kamal naik bus yang sama.
Lima jam perjalanan menuju Surabaya, itupun jika tidak macet. Pukul tujuh tepat bus mulai melaju pelan. Membelah jalan antar kota, sawah, rumah-rumah penduduk, pasar tradisional dan beberapa kali berhenti di terminal antar kota. Menaik dan menurunkan penumpang, beberapa kali pula bus berhenti menaikkan penumpang di pinggir jalan.
Kabar buruknya, bus baru sampai Madiun perutku terasa mual. Tidak menunggu waktu lama, kresek hitam akhirnya terisi muntahan. Hiks. Kulihat ke samping, Sri tidak jauh beda.
"Muntahin saja kalau mual, biar entheng." Kataku.
Dia menggeleng, sepertinya masih kuat.
Aku memilih menyandarkan kepala di kursi depanku. Kupejamkan mata, lalu tertidur.
***
Tepat saat adzan Dzuhur bus kami sampai di Terminal Bungurasih. Lalu naik bus Damri untuk menuju Terminal Joyoboyo.
Mengharukan? Tidak!
Menangis? Tidak!
Tersenyum dan bersalaman saat bertemu Mbak Husna. Kenapa tidak memeluk? Entahlah...
Singkat cerita saja, dari Terminal Joyoboyo ini rombonganku dengan Riza berpisah. Mbak Husna mengantar aku dan Sri ke ITS. Riza, Maulana dan Kamal menuju UIN Sunan Ampel.
Tiga puluh menit menuju ITS, lalu oper angkot menuju Pasar Keputih. Mbak Husna tidak bisa mengantar sampai kost. Hari mulai sore, bisa-bisa tidak ada angkot untuk pulang. Hanya mengantar sampai ITS dan berpisah di Gupura Desa Gebang. Kami naik angkot jurusan Pasar Keputih dan Mbak Husna kembali menuju Terminal Joyoboyo.
Beberapa menit kemudian, setelah sampai di Pasar Keputih, aku mengirim pesan ke Mas Rizal.
"Mas, ini sudah sampai Pasar. Tepat di depan gang III. Sampean di mana?"
"Iya, ini lagi jalan ke sana."
Lelah yang kami rasakan, rasanya ingin segera tiba di kost lalu membaringkan tubuh. Lumayan lama berdiri, akhirnya mencari tempat duduk.
"Sri, tidak adakah orang jalan dari sana?" Aku menunjuk ke arah timur.
"Tidak, Nan." Jawabnya singkat.
"Lama juga yo, hihi." Sri hanya tersenyum.
"Nan, saya sudah sampai Pasar. Kalian di mana?" Pesan dari Mas Rizal. Tidak kubalas. Huaaah, siap-siap berdiri dan menghampirinya. Dia duduk di sana.
Aku canggung, tersenyum tanggung. Mulai bingung. Sri berjalan di belakangku.
Kami sudah berdiri di depan Mas Rizal. Tidak menyalaminya. Bukan karena apa-apa, tapi sepertinya Mas Rizal juga paham.
"Oke, langsung saja. Mari saya antar ke kost." Suara Mas Rizal memecah suasana. Sambil tangannya menunjuk ke arah barat. Lalu ia berjalan, kami mengikuti di belakangnya. Langkah kami lambat, hoho. Maklum saja, capek. Dan beberapa kali Mas Rizal melihat ke samping, memastikan kami tidak tertinggal jauh.
Tidak jauh menuju kost, hanya beberapa menit berjalan kaki. Hingga sampailah kami di depan kost.
"Sebentar, tunggu di sini saja. Saya ke rumah Bapak kostnya."
Aku dan Sri mengangguk hampir bersamaan.
Tidak lama kemudian.
"Bapak kostnya masih di masjid. Kita tunggu saja."
Aku berdiri, diam. Sri duduk di bawah. Mas Rizal berdiri di samping kiriku.
"Temannya, Nan?"
Aku mengangguk, "Iya."
"Namanya?"
Sri menjawab, "Sri."
"Oh, saya Rizal."
Lalu untuk mencairkan suasana, Mas Rizal beberapa kali bertanya. Aku menjawab seadanya. Malu itu jelas, bahkan saat berkata tak berani melihat lawan bicara. Aku pun memberanikan diri bertanya, mungkin itu pertanyaan yang tidak penting, karena seingetku di facebook pernah kutanyakan. Hahaha.
Lama juga menunggu Bapak kostnya. Ada lah lima belas menit. Beberapa saat juga kami saling diam, aku menunduk.
Bagaimana keadaanku? Hah, entahlah. Campur-campur, gugup, malu, gak PD, ah entahlah.
Akhirnya yang dinanti pun tiba, Bapak kost. Kami menyalaminya, mengobrol sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Kamar kami ada di lantai dua. Kukira setelah sampai di kost ini, Mas Rizal langsung pulang. Ternyata tidak, ia ikut membantu. Duh, baiknya. :-D
Setelah semua selesai, aku dan Sri diminta mengisi biodata. Lalu mengobrol lagi, tentang test, jurusan, univ, dan lainnya.
Dan perkataan Bapak kost yang terakhir ini membuatku bingung.
"Ya sudah, nanti tolong ya Mas Rizal, ajak mereka lihat-lihat jalan ke depan. Barangkali mau cari makan atau apa. Oya, besok juga antar mereka tinjau tempat testnya ya."
(Masih bersambung, gak tahu kapan bisa lanjut lagi..) panjang ceritanya...
Surabaya, aku memilih kota itu untuk mengikuti test SBMPTN. Padahal univ yang kudaftari bukan di Surabaya. Ya, aku ingin bertemu dengan seseorang untuk kedua kalinya. Dia adalah Mbak Husna. Namun, sedikit pun tak terbesit bertemu dengan seseorang yang lain. Seseorang yang kukenal juga di dunia maya. Namanya, Mas Rizal. Perkenalan kami lucu, aku tersenyum jika mengingatnya. Haha.
Jika saja test-nya di UNESA, mungkin aku tak pernah bertemu dengannya. Sri, teman seperjuanganku test di ITS, sedang aku di STIKOM. Bersyukur jarak keduanya tidak terlalu jauh.
Kenyataan ini membuat kami putar haluan, semua yang kami rencanakan dari tempat menginap, waktu keberangkat, dan lainnya berubah. Jujur, ini membuatku tak nafsu makan. Hiks.
Syukurlah, Mas Rizal tinggal di sekitaran ITS. Sebenarnya malu meminta bantuan padanya, tapi tidak. Malu ini harus kubuang jauh-jauh, demi kelancaran kami nanti.
Aku menyampaikan maksud untuk meminta bantuan agar dia mencarikan kost yang dibayar perhari. Dan dia pun menyanggupinya.
Beberapa hari kemudian Mas Rizal mengabariku.
"Nan, saya sudah dapat tempat kost-nya. Sehari 100ribu, bagaimana?"
Duh, 100 ribu? Jika dua malam berarti 200 ribu. Jujur bagi kami ini kemahalan.
"Mas, apa yang dibawahnya lagi tidak ada?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Belum tahu, Nan. Coba nanti saya cari lagi ya."
"Mas, maaf merepotkan."
"Tidak, Nan. Santai saja."
Rasanya sudah tidak nyaman, dia bukan siapa-siapaku. Lalu, esoknya dia mengabariku lagi.
"Nan, yang kemarin coba saya tawar. Bisa 75 ribu, bagaimana? Itu saja atau cari lagi?"
Aku tidak mau merepotkannya lagi, ya sudah bismillah, ini saja.
"Itu saja, Mas. Terimakasih ya sudah membantu. Oya, alamat dan nomer hp-nya Bapak kost tolong dikirim ya."
Lalu ia mengirimnya lewat inbox di facebook. Ya iyalah, obrolan kami ini juga di facebook. Haha
Aku tak pernah membayangkan bisa bertemu dengannya, secara perteman kami di dunia maya itu sudah tidak sedekat dulu. Ia sibuk dengan urusannya. Kupikir nanti, setelah kami sampai di Surabaya, kami akan mencari tempat kostnya sendiri. Lagipula, dia sepertinya tak ada niatan untuk menemuiku. Ternyata... Allah punya rencana yang indah.
H-1 keberangkatan kami ke Surabaya, aku memastikannya lagi pada Mas Rizal. Karena keberangkatan kami ini dimajukan.
"Mas, kalau tidak ada perubahan besok kami berangkat. Berarti tanggal 7 dan 8 kami menginap di kost, bisa kan dimajukan? Oya, sepertinya minggu sore kami baru sampai dan pulang selasa sore, apa masih dihitung 2x bayar?"
"Sepertinya bisa Nan. Nah, yang itu saya kurang tahu. Kemarin Bapak kostnya bilang bayarnya perhari. Kalau minggu sore datang, senin sore masuk 1 hari. Coba nanti saya tanyakan, ba'da dzuhur kepastiannya. Biasanya saya bertemu dengan beliau saat jama'ah di masjid."
"Oh begitu. Yayaya, saya tunggu kabar selanjutnya Mas. Terimakasih."
Sampai saat ini pun, keadaannya masih sama. Jujur, dalam hati penasaran dengan orangnya, tapi kurasa tidak mungkin bisa bertemu. Aku pun tak berani bilang padanya.
Sore, sekitaran jam 3 ada pesan dari Mas Rizal.
"Kata Bapak kostnya masih dihitung 2x bayar, Nan. Ohya Nan, tadi biar enak ngobrol dengan beliau, biaya kostnya sudah saya bayar."
Hah? Sudah dibayar? Ooh tidak! Itu artinya kami harus bertemu? Menggantikan uangnya. Haduh Mas, kenapa gak bilang dulu.
"Oh, emangnya harus dibayar dulu ya Mas?" Aku mencari alasan kenapa dia melakukan itu.
"Ya tidak harus sih. Tadi biar enak saja ngobrol sama beliau. Toh, mau dibayar sekarang ataupun besok sama saja."
Ya berbeda lah Mas. Aduh, apa iya kami harus bertemu? Hah, rasanya nano-nano sampek gak bisa tidur. Huaaah.
"Oh begitu. Iya besok saya ganti, terimakasih Mas."
"Iya, besok sekalian saya antar ke tempat kostnya. Takutnya nanti bingung."
Nah loh, malah dianter segala. Jauh di luar dugaanku. Allah punya rencana lain.
Lalu, kenapa dulu aku bertanya detail tentang tempat kost, tempat test dan lainnya pada Mas Rizal, jika ternyata dia menemuiku, bahkan mengantarkanku juga?
Malam serasa siang, mataku tak mau terpejam. Dalam angan hanya terbayang pertemuan kami nanti. Huaaa, aku malu, gugup, tidak menyangka dengan semua ini.
Besok, iya besok! Aku akan bertemu dengan Mas Rizal, seseorang yang bagiku misterius. Aneh! Oh Allah, kumohon lancarkanlah hariku esok.
Pukul 01:30 AM aku baru bisa tidur, padahal pagi jam 6 harus berangkat ke terminal.
****
Matahari sempurna terlihat di ufuk timur. Pagi ini cerah, secerah hatiku. Menyambut pertemuan yang sebelumnya memang kurindukan. Meski ini kedua kalinya, tapi tetap saja tidak bisa lepas saat bercakap dengannya. Aku (mungkin) memang pemalu. Hihi, padahal Mbak Husna juga perempuan. Katanya 'nanti kalau ketemu hilangin dredegnya ya, santai aja. Jangan takut, kayak lihat penampakkan aja.' Hhe. Tapi tetap saja, aku masih malu-malu bercakap dengannya.
Molor sedikit dari perjanjian awal. Pukul setengah 7 aku baru berangkat menuju terminal, hanya 5 menit naik motor sudah sampai. Aku berlima dengan teman seperjuangan. Aku, Sri, Riza, Maulana dan Kamal naik bus yang sama.
Lima jam perjalanan menuju Surabaya, itupun jika tidak macet. Pukul tujuh tepat bus mulai melaju pelan. Membelah jalan antar kota, sawah, rumah-rumah penduduk, pasar tradisional dan beberapa kali berhenti di terminal antar kota. Menaik dan menurunkan penumpang, beberapa kali pula bus berhenti menaikkan penumpang di pinggir jalan.
Kabar buruknya, bus baru sampai Madiun perutku terasa mual. Tidak menunggu waktu lama, kresek hitam akhirnya terisi muntahan. Hiks. Kulihat ke samping, Sri tidak jauh beda.
"Muntahin saja kalau mual, biar entheng." Kataku.
Dia menggeleng, sepertinya masih kuat.
Aku memilih menyandarkan kepala di kursi depanku. Kupejamkan mata, lalu tertidur.
***
Tepat saat adzan Dzuhur bus kami sampai di Terminal Bungurasih. Lalu naik bus Damri untuk menuju Terminal Joyoboyo.
Mengharukan? Tidak!
Menangis? Tidak!
Tersenyum dan bersalaman saat bertemu Mbak Husna. Kenapa tidak memeluk? Entahlah...
Singkat cerita saja, dari Terminal Joyoboyo ini rombonganku dengan Riza berpisah. Mbak Husna mengantar aku dan Sri ke ITS. Riza, Maulana dan Kamal menuju UIN Sunan Ampel.
Tiga puluh menit menuju ITS, lalu oper angkot menuju Pasar Keputih. Mbak Husna tidak bisa mengantar sampai kost. Hari mulai sore, bisa-bisa tidak ada angkot untuk pulang. Hanya mengantar sampai ITS dan berpisah di Gupura Desa Gebang. Kami naik angkot jurusan Pasar Keputih dan Mbak Husna kembali menuju Terminal Joyoboyo.
Beberapa menit kemudian, setelah sampai di Pasar Keputih, aku mengirim pesan ke Mas Rizal.
"Mas, ini sudah sampai Pasar. Tepat di depan gang III. Sampean di mana?"
"Iya, ini lagi jalan ke sana."
Lelah yang kami rasakan, rasanya ingin segera tiba di kost lalu membaringkan tubuh. Lumayan lama berdiri, akhirnya mencari tempat duduk.
"Sri, tidak adakah orang jalan dari sana?" Aku menunjuk ke arah timur.
"Tidak, Nan." Jawabnya singkat.
"Lama juga yo, hihi." Sri hanya tersenyum.
"Nan, saya sudah sampai Pasar. Kalian di mana?" Pesan dari Mas Rizal. Tidak kubalas. Huaaah, siap-siap berdiri dan menghampirinya. Dia duduk di sana.
Aku canggung, tersenyum tanggung. Mulai bingung. Sri berjalan di belakangku.
Kami sudah berdiri di depan Mas Rizal. Tidak menyalaminya. Bukan karena apa-apa, tapi sepertinya Mas Rizal juga paham.
"Oke, langsung saja. Mari saya antar ke kost." Suara Mas Rizal memecah suasana. Sambil tangannya menunjuk ke arah barat. Lalu ia berjalan, kami mengikuti di belakangnya. Langkah kami lambat, hoho. Maklum saja, capek. Dan beberapa kali Mas Rizal melihat ke samping, memastikan kami tidak tertinggal jauh.
Tidak jauh menuju kost, hanya beberapa menit berjalan kaki. Hingga sampailah kami di depan kost.
"Sebentar, tunggu di sini saja. Saya ke rumah Bapak kostnya."
Aku dan Sri mengangguk hampir bersamaan.
Tidak lama kemudian.
"Bapak kostnya masih di masjid. Kita tunggu saja."
Aku berdiri, diam. Sri duduk di bawah. Mas Rizal berdiri di samping kiriku.
"Temannya, Nan?"
Aku mengangguk, "Iya."
"Namanya?"
Sri menjawab, "Sri."
"Oh, saya Rizal."
Lalu untuk mencairkan suasana, Mas Rizal beberapa kali bertanya. Aku menjawab seadanya. Malu itu jelas, bahkan saat berkata tak berani melihat lawan bicara. Aku pun memberanikan diri bertanya, mungkin itu pertanyaan yang tidak penting, karena seingetku di facebook pernah kutanyakan. Hahaha.
Lama juga menunggu Bapak kostnya. Ada lah lima belas menit. Beberapa saat juga kami saling diam, aku menunduk.
Bagaimana keadaanku? Hah, entahlah. Campur-campur, gugup, malu, gak PD, ah entahlah.
Akhirnya yang dinanti pun tiba, Bapak kost. Kami menyalaminya, mengobrol sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Kamar kami ada di lantai dua. Kukira setelah sampai di kost ini, Mas Rizal langsung pulang. Ternyata tidak, ia ikut membantu. Duh, baiknya. :-D
Setelah semua selesai, aku dan Sri diminta mengisi biodata. Lalu mengobrol lagi, tentang test, jurusan, univ, dan lainnya.
Dan perkataan Bapak kost yang terakhir ini membuatku bingung.
"Ya sudah, nanti tolong ya Mas Rizal, ajak mereka lihat-lihat jalan ke depan. Barangkali mau cari makan atau apa. Oya, besok juga antar mereka tinjau tempat testnya ya."
(Masih bersambung, gak tahu kapan bisa lanjut lagi..) panjang ceritanya...